Kamis, 24 Maret 2011

TIGA JIWA "Save My Soul" (session 1)

Banyu :
Ini mungkin sebuah takdir, dan mungkin saja aku memang diharuskan menerima takdir ini tanpa perlu melawannya. Begitulah, aku tak habis pikir tentang apa saja yang bisa aku perbuat untuk orang lain. Bukan! Ternyata bukan itu yang seharusnya aku pikirkan. Tapi mengapa aku justru melakukan ini?
Hatiku begitu dingin, mengeras, bahkan sudah menjadi karang yang sulit dihancurkan. Walaupun bisa dihancurkan dengan tetesan air, namun tetap saja tidak cukup hanya sebentar. Butuh waktu yang lama. Begitulah kira-kira penggambaran isi hatiku. Terlalu gelap! Terlalu tak peduli! Dan terlanjur sadis!
Omong kosong dengan kasih sayang. Omong kosong pula tentang cinta. Semua itu akan lenyap jika setitik saja kebencian menyelimuti. Sebenarnya aku tidak benci. Hanya saja aku terlanjur memperoleh kehidupan yang penuh dengan kebencian. Sekali lagi bukan aku yang benci. Tetapi orang-orang yang bersama akulah yang diliputi banyak kebencian.
Dan aku?
Hanya sekedar menerima apa yang mereka benci. Menjadikannya lenyap hingga kebencian itu pun hilang dengan sendiri. Namun, ternyata kebencian itu tidak hanya satu.
Maka ... aku pun melenyapkan ribuan kebencian. Hingga aku pun lelah. Hingga penyesalan di dalam diriku pun tak lagi ada.

Maessa:
Entah apa yang dapat kuperbuat untuk tidak memenjarakan dendam ini. Jiwaku seharusnya bukan seperti ini. Ya, aku merasa memang kehilangan seluruh jiwaku yang sebenarnya. Dan itulah ... karena dendam ini terlalu sulit aku lenyapkan.
Betapa aku telah banyak mengalami perubahan jiwa. Aku seperti orang pesakitan. Setiap detik yang kulalui, hanya sebuah amarah dan dendam yang mampu menghidupkan kembali jiwaku. Aku hampir tak mengenal sosokku. Bahkan aku merasa bahwa jiwaku bukan lagi milikku. Ia hilang begitu saja. Ia lenyap entah kemana. Hingga jiwa lain pun mengisi relung-relung di tubuhku yang kosong.
Aku selayaknya mayat hidup tanpa cinta dan kasih sayang. Hidup hanya untuk menumbuhkan dendam dan amarah. Ya ... kenyataannya, setiap detik yang kulalui hanya untuk memendam amarah dan dendam hingga suatu saat akan berhasil aku luapkan. Tentu saja, entah pada siapa akan aku luapkan dendam dan amarah ini. Yang jelas, aku tidak main-main.
Aku hanya mampu hidup dengan satu alasan, yaitu dendam! Ya, itu saja! Tak ada yang lain.
Bahkan aku rela menghabiskan darah di sekujur tubuhku hanya untuk membalas dendam.

Kirana :
Tak habis pikir dengan kelelahanku selama ini. Aku tumbuh menjadi seorang gadis berhati kelabu. Kelabu bukanlah putih bersih. Kelabu juga bukanlah hitam pekat. Namun, kelabu ialah perpaduan antara keduanya. Bisa terbayangkan, hatiku pun penuh kekalutan. Namun, tetap saja aku memang setegar karang di lautan.
Belum ada gemuruh air yang mampu meluluhlantahkan ketegaran hatiku. Walau kalut, aku selalu yakin bahwa aku kuat. Inilah yang menjadi alasan mengapa aku hampir tak pernah menitikkan airmata sekalipun. Bisa kuingat, titik airmata terakhir yang mengalir di kedua pipiku saat ibuku meninggal 10 tahun silam. Setelahnya, aku sama sekali tidak pernah menitikkan airmata.
Itulah mengapa kubilang bahwa aku begitu tegar.
Sayangnya, ketegaran hatiku tidak akan selamanya menjadi tidak putus asa. Begitulah, karena semakin aku memaknai hariku selanjutnya, aku semakin kacau. Bukan karena aku mulai lemah, tetapi karena kekalutan yang aku alami berusaha menggoyahkan karang yang tegar di hatiku.
Sudahlah, aku masih belum mau menyerah.
Ini tentang hidup. Ini tentang menjadi bijaksana.
Maka, aku hanya sanggup menegakkan karang itu dan berharap akan tetap kokoh walaupun besarnya air mulai membasahi sekujur tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar