Rabu, 15 September 2010

Surya Tenggelam

Surya itu terbit dengan indah. Jingganya hampir memenuhi seluruh langit. Bau segar daun menambah kepekatan aroma pagi. Itu yang selalu kusuka ketika pagi. Damai. Tenang. Jauh dari ketegangan. Jauh dari segala kemusnahan.
Ya Rabb, aku percaya semua ini adalah Kuasa-Mu. Begitu juga aku percaya ketika aku tak sanggup lagi menopang tubuh ini, Kau akan selalu ada untukku. Aku tahu, kehendak-Mu tak akan pernah bisa kuubah. Namun, aku yakin, semua yang Kau pilihkan untukku adalah sesuatu yang tak mungkin merapuhkanku, tetapi justru sebaliknya, menguatkanku.
Ya Rabb, aku selalu bersyukur, mengapa aku bisa tinggal bersama dengan mereka. Mereka yang begitu istimewa di mataku. Mereka yang kuat. Mereka yang tak pernah kenal menyerah.
Dimas, Randa, dan Gema. Mereka berjuang di sini hanya untuk membawa nama baik dari daerahnya. Begitu bangga saat mereka menceritakan bagaimana kampung halaman mereka. Aku tak bisa bayangkan kuatnya hati mereka ketika meninggalkan orang tua mereka hanya untuk satu tujuan. Ya, tujuan yang pastinya begitu menjanjikan masa depan mereka. Aku yakin, mereka adalah calon orang sukses yang nantinya akan mengharumkan negara ini. Aku bangga, sangat bangga, ketika aku bisa satu kamar dengan mereka di asrama ini.
Ya Rabb, aku semakin yakin bahwa apa yang menjadi jalan hidupku selama ini adalah sesuatu yang harus kulewati. Bukan untuk kuhindari. Bukan untuk kutakuti. Maka, aku pun tak akan pernah menyesal, aku pun tak akan pernah takut, untuk hidup ini. Hidup yang lebih indah dari apa yang pernah kulihat.

_Ridho_
***









Empat pemuda dalam satu tujuan. Melangkahkan kakinya dengan lincah. Tawa mereka memecah, meramaikan deretan sunyi jalan di pagi hari.
”Lihat !! Ikan itu ! Oh, seandainya di asrama ada dapur, sudah kubuatkan kalian ikan bakar paling lezat.” Salah satu di antara mereka berteriak gembira.
Gema, pria asal Sulawesi itu ingat pantai di kampung halamannya. Setiap pagi ia biasa menjaring ikan bersama ayahnya. Kali ini berbeda, ia hanya bisa pasrah begitu melihat ikan besar melintas di pinggiran sungai.
”Hei Gema, memang kau bisa masak ?” sahut Dimas dengan logat khas Medan yang begitu kental.
”Jangan remehkan aku ! Biar begini, aku sering membantu ibuku di dapur.”
”Ridho, dengar itu teman kau ! Sombong sekali !” Lagi-lagi Dimas menimpali. Ridho hanya tersenyum kecil. Pikirannya jauh mengangkasa begitu melihat wajahnya terpantul jelas dalam genangan air di sungai itu. Wajah pucat, namun selalu memikat. Tak ada seorang pun yang berkomentar tentang wajah pucat itu. Kharisma yang terpancar mengalahkan segalanya.
”Ridho, kamu tak apa ?” Randa, pemuda dingin asal Aceh, selalu tanggap dengan keadaan di sekitarnya. Sifatnya yang terlihat angkuh terhadap lawan jenis, tak pernah ia tunjukkan di hadapan ketiga temannya. Justru sebaliknya, ia begitu lembut. Ia hanya agak kaku dengan wanita, bukan benci.
Ridho menggeleng sambil tersenyum lebar. Tangannya menepuk pundak Randa dengan penuh semangat.
”Aku tak apa !” jawabnya singkat sambil beranjak pergi.
”Ayo, teman ! Matahari hampir tinggi !” teriaknya kemudian sambil berlari.
Gema, Dimas, dan Randa segera menyusul. Mereka semua tertawa lepas seolah dunia ini benar-benar milik mereka.

***
Sketsa kehidupan pagi telah usai. Peluh mereka pun mengucur deras. Ridho, Gema, Randa, dan Dimas, hubungan mereka semakin erat dengan persahabatan yang mereka jalin. Persahabatan yang benar-benar indah dan penuh makna.
Enam bulan telah berlalu, masing-masing dari mereka semakin mengerti apa arti hidup ini. Hidup mereka yang berubah seratus delapan puluh derajat begitu mereka meninggalkan kehidupan yang terdahulu. Status mahasiswa yang mereka sandang, membuat mereka semakin matang dalam berpikir.
Cintai hidup, maka cintailah orang di sekitarmu juga lingkunganmu.
Itulah motto persahabatan mereka. Entah bagaimana mereka mengartikan kata-kata itu di dalam diri mereka, yang terpenting adalah saat salah satu dari mereka ada yang menangis, maka yang lainnya akan meminjamkan punggung untuk sekedar menopang kerapuhan temannya.
Bertahan ! Ya, satu-satunya yang dapat mereka lakukan ketika rapuh menjelang.
Teringat, ketika pertama kali mereka menginjakkan kaki di dunia baru ini, dunia yang ternyata jauh lebih mengasyikkan dari sekedar hidup untuk menikmati sebatang coklat. Dunia yang lebih manis dari gula yang pernah mereka cicipi. Namun, ada kalanya, dunia di sini pula yang lebih pahit dari sekedar memungut uang di tengah jalan.
”Hei, kita makan di sana saja ! Sepertinya warung baru. Bagaimana ?” ujar Dimas penuh semangat.
”Boleh !” Randa menanggapi. Begitu juga dengan Ridho dan Gema, mereka mengangguk kompak.
”Selesai makan, masih siap menyelesaikan misi kita selanjutnya?” tanya Gema kepada ketiga temannya.
”Semangat !!” teriak Dimas.
”Ya, aku juga sama. Semangat !” susul Randa.
”Ridho ?”
Wajah pucat itu kembali kuyu. Entah apa yang dipikirkannya belakangan ini, yang sering terlihat oleh ketiga temannya, hanya wajah tak bersemangat itu.
”Ridho?” sekali lagi Dimas memanggil namanya.
”Ada apa ?” Randa memegang pundak Ridho sambil menatap dalam.
”Boleh aku tidak ikut ?” ucap Ridho lirih. Suasana tegang meliputi ketiga temannya.
”Lupakan ! Ayo, kita makan !” Ridho tersenyum melihat teman-temannya tak berkutik. Ia segera berjalan menuju warung itu.
”Teman ! Kau masih ingat janji kita ?” ucapan Dimas menghentikan langkah Ridho. Ia pun membalikkan badan.
”Tak pernah kulupa.”
”Lantas, bagaimana dengan wajah pucatmu ? Satu hal yang selalu terlintas dalam pikiranku, kau berbeda.”
”Apa maksudmu ?”
”Anak kecil pun tahu, semua orang normal tak berwajah pucat. Kecuali kau !”
”Dimas !!” bentak Randa. Suaranya membuat burung-burung kembali terbang dari pepohonan.
”Maaf ....”
***
Tak terungkap satu duka ...
Ketika hatimu enggan berbicara

Dimas membentakku !
Sekaligus orang pertama yang berkomentar tentang wajah pucat ini
Saat itu, aku tetap diam
Ia pun berucap ”Maaf”

_Ridho_

***

Ridho melangkahkan kakinya perlahan. Hari ini ia akan ujian. Takut ! Ia begitu takut menghadapi soal apa yang akan menggelayuti pikirannya nanti. Ia memang tak secerdas ketiga temannya, namun ia selalu berpikir setidaknya ia adalah sekian orang terpilih yang berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri ini.
Wajah pucat, orang selalu bilang seperti itu. Namun, tak pernah ada yang bertanya kenapa wajahnya seperti itu. Ketampanan dan kharisma mengalahkan segala yang menjadi kelemahannya. Senyumnya pun demikian. Memikat ! Terlalu manis untuk diingat. Hampir setiap wanita yang mendapat senyumannya, luluh dan tak usainya menebar sejuta pesona kepadanya.
Ridho, sesuai makna namanya. Keikhlasan tak kunjung pudar dari hatinya. Ia terlalu baik, terlalu pengalah, terlalu mengikhlaskan segala yang menjadi miliknya. Karenanya pula, banyak temannya sekarang menjadi lebih merasa berbagi dengan orang lain. Merasa bahwa hidup sendiri itu lebih menyedihkan.
”Ridho, bagaimana ? Sudah siap ?” tanya Bunga, gadis yang terbilang dekat dengannya.
”Aku hanya berpikir, siap atau tidak, aku akan tetap menjalani ujian itu. So, kamu salah bertanya. Seharusnya, sampai sejauh mana persiapanmu untuk ujian kali ini?” Ridho tersenyum. Bunga semakin terpikat dengan pria di hadapannya. Enam bulan melihat senyumnya, membuat Bunga semakin jatuh hati kepada Ridho. Namun, tetap wajah pucat itu. Bunga heran.
”Iya, sampai sejauh mana persiapanmu menghadapi ujian ini ?”
”Not bad ! Gema banyak membantu semalam.”
”Oh iya, Randa bagaimana ? Sudah sembuh ?”
”Perhatian sekali. Kenapa tidak tanya langsung ?” Ridho sedikit menggoda.
”Tidak ! Aku hanya ....” Bunga segera pergi. Lagi-lagi Ridho salah mengartikan. Sejujurnya, ia tak bermaksud menanyakan kondisi Randa. Ia hanya ingin berbicara lebih lama dengan Ridho. Ia ingin menatap dalam wajah pucat itu, sambil memaknai apa yang membuat wajahnya begitu pucat. Bunga begitu penasaran. Namun, ia juga tak berani bertanya langsung. Ia takut Ridho menjauhinya.

***
”Aaaaaaaaaarrrrggggghhhhhh ....!!!” teriak Dimas sekuat tenaga.
”Dasar aneh! Selesai ujian, malah teriak-teriak. Hilang suaramu nanti !” Gema selalu heran dengan kebiasaan temannya yang satu ini. Selalu saja teriak kencang begitu selesai mengerjakan soal ujian.
”Aku baru bisa tenang kalau sudah teriak.”
”Iya, menurutku itu aneh. Sudahlah! Ayo, kita pulang! Randa dan Ridho pasti sudah di kamar.”
”Tunggu!”
”Ada apa?”
”Menurut kau, Ridho masih marah karena aku menyinggung perasaannya kemarin?”
”Kamu seperti tidak kenal Ridho. Dia itu tak pernah marah. Jadi, lupakan saja!”
”Tapi, kenapa pula wajah dia pucat ? Apa kau pikir dia sakit?”
”Sakit? Kemarin saja dia ikut berlari dengan kita.”
”Bukan itu maksudku.”
”Lantas?”
”Apa dia punya penyakit?”
”Penyakit?”
”Ya. Aku khawatir dia menyembunyikannya dari kita.”
”Aku punya ide!”
”Ide?”
”Kamu tahu kebiasaannya yang selalu menulis. Sepertinya dalam buku hitam itu.”
”Kau benar! Jawabannya pasti ada di dalam buku itu.”
”Nanti malam!”
”Ya, nanti malam.”
***

Dimas memandangi Ridho sambil sesekali memejamkan matanya. Ia berharap Ridho akan segera tertidur. Namun, sampai satu jam ia menunggu, Ridho belum juga tertidur. Ridho tetap asyik dengan buku hitamnya. Buku yang menyimpan sejuta rahasia tentang dirinya.
”Kau tidak tidur?” tanya Dimas kemudian. Ridho terusik. Ia menghentikan gerak tangannya yang fasih menulis. Entah apa yang ditulisnya, orang tak pernah tahu.
”Mataku sulit terpejam,” jawab Ridho singkat. Tangannya kembali menulis.
”Ridho ....” Dimas menghampiri teman yang begitu membuatnya penasaran. Sosok di hadapannya selalu tersenyum, namun wajah pucatnya tak pernah hilang.
Ridho tersenyum, menatap ringan teman yang duduk di sampingnya sekarang.
”Kenapa kau mudah tersenyum?”
”Menurutmu, kenapa aku mudah tersenyum?”
”Mungkin, karena dunia terlalu indah untukmu. Benarkah seperti itu?”
”Ya, dunia ini terlalu indah untukku sampai aku harus berbagi senyum kepada orang lain.”
”Ridho, kau selalu tersenyum. Kau pula selalu memberi apa yang dibutuhkan orang lain. Kau mencintai anak yatim di panti itu. Kau juga menyayangi pengamen-pengamen kecil itu dan tentunya kami semua penghuni asrama ini. Semua mahasiswa di sini tahu, siapa pemilik senyum indah itu. Namun, satu yang menjadi pertanyaanku, bahkan semua orang juga bertanya, kenapa wajahmu pucat? Boleh aku tahu, teman?”
Dimas menatap Ridho dalam. Malam benar-benar hening. Udara yang masuk melalui jendela kamar juga begitu dingin. Di saat mahasiswa lain sudah tertidur lelap di kamarnya masing-masing, mereka hanya beradu pandang, menyisakan seribu tanya dan jawab.
Hati Ridho tergetar. Wajahnya tak lagi tersenyum. Pucatnya semakin bertambah. Sementara Dimas, ia justru berharap kalau Ridho akan menceritakan apa yang menjadi bebannya selama ini. Dimas mengerti, senyum Ridho hanyalah klise sesaat yang sebenarnya adalah sebuah kerapuhan. Kerapuhan besar yang diderita karibnya.
”Dimas, bolehkah aku tidak menjawab pertanyaanmu?” ucap Ridho sambil menundukkan pandangan. Ia tak kuasa lagi menatap Dimas.
”Kenapa? Kau bilang, kau masih ingat dengan janji persahabatan kita?”
”Ya, aku masih ingat. Tapi, bolehkah kali ini kuingkari?”
”Ridho, kuberitahu, aku sempat memaknai hidupku adalah suatu bencana besar. Kau lihat ini? Jariku hanya empat. Dulu, aku selalu dihina. Bahkan sampai aku berada di sini, setiap kali aku berjabat tangan untuk berkenalan dengan teman-teman baruku, aku masih saja ragu. Aku takut mereka semua menertawakanku. Tapi, apa yang kau bilang padaku sampai akhirnya aku seperti sekarang ini? Kau bilang, aku ini hebat. Dengan empat jari di tangan kananku, aku justru meraih banyak prestasi. Hal itu tak pernah terlintas di dalam benakku sampai ada seseorang yang berucap padaku, yaitu kau. Saat itulah, aku benar-benar berubah. Karena dirimu, aku lebih bisa mengartikan bahwa hidup ini indah.”
”Sungguh tak ada yang perlu kukatakan padamu, Dimas. Aku baik-baik saja.”
”Ridho, aku benar-benar tak ingin kau seperti ini. Aku banyak belajar sesuatu darimu, karenanya aku hanya ingin membantumu jika memang ada sesuatu yang merapuhkanmu?”
”Kamu bilang aku tegar, itu semua karena aku memang tak ada masalah. Seperti inilah wajahku, wajah pucat.” Sekali lagi Ridho tersenyum, hatinya mulai tenang.
”Baiklah, maaf aku sempat memaksamu. Mungkin, memang benar kau tak apa.”
Dimas kembali tidur. Kali ini hatinya lebih tenang. Ia berharap semua yang terucap dari lidah sahabatnya adalah benar. Ya, Ridho memang baik-baik saja.
***
Malam tanpa bintang
Mataku masih sulit terpejam

Kata orang, aku si wajah pucat
Kata orang pula, aku si senyum memikat

Ya Rabb, tegarkan hatiku di saat kerapuhanku
Entah kapan waktu itu
Aku menunggu !
_Ridho_

***
Gemetar Dimas memegang buku hitam di tangannya. Subuh tadi ia berhasil mengambil buku hitam itu tanpa sepengetahuan Ridho. Entah apa yang akan Dimas katakan ketika dirinya tertangkap basah oleh Ridho. Dimas tahu, tindakannya memang lancang. Mengambil barang yang bukan miliknya tanpa izin si pemilik. Namun, hasratnya untuk mengetahui segala tentang Ridho begitu besar. Ia tak peduli lagi jika Ridho akan memarahinya nanti.
Lembar pertama ia buka. Satu per satu kata yang tertulis ia baca. Jantungnya tetap berdegup kencang. Berulang kali pula ia berucap maaf.
Ridho, maafkan aku ...

Jadi seperti itu ...
Aku memang hidup seperti tidak diharapkan oleh kedua orang tuaku. Bagaimana tidak ? Aku lahir sebagai seorang leukimia. Umurku mungkin tak akan lama. Karenanya, kedua orang tuaku mencampakkanku. Menjauhiku. Membuangku. Seolah aku ini suatu kenistaan.
Tak apa, aku masih beruntung memiliki nenek yang begitu sabar merawatku. Walau aku terlahir sebagai orang yang berpenyakit, namun nenek selalu menganggapku sehat. Nenek begitu setia mengantarku berobat. Ia begitu khawatir ketika wajah pucatku akan semakin bertambah pucat. Bahkan ia marah besar ketika teman-temanku mengejek aku dengan sebutan ”mayat hidup”. Sebutan itu karena wajahku yang selalu terlihat pucat.
Awalnya, kupikir memang dunia ini tidak menerimaku dengan baik. Aku frustasi. Tapi, aku ingat cerita nenek tentang kakek yang berjuang mati-matian melawan penyakit yang ada di dalam dirinya. Kakek juga terlahir sebagai seorang leukimia. Kepada nenek, kakek berjanji bahwa dia akan terus berjuang untuk orang yang dicintainya. Karena, orang yang kuat bukanlah orang yang terlahir sehat tanpa cacat sedikit pun. Orang yang kuat adalah orang yang berhasil membangkitkan semangat di antara kerapuhan. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa aku harus menjadi air di tengah gurun pasir. Memberikan semangat kepada orang yang hampir sekarat.

Ridho, sungguh! Kenapa kau harus merahasiakan semua ini dariku?
Setetes airmata tiba-tiba menghiasi pipi kanan Dimas. Dihapusnya airmata itu. Matanya kembali tertuju pada rangkaian kalimat selanjutnya.


Satu kenyataan lagi dari nenek yang merapuhkanku. Ternyata ...
Ayahku seorang pembunuh bayaran sementara ibuku lari dengan pria lain. Itu sebabnya aku hidup bersama nenek. Setelah hampir 17 tahun ini aku terus mencari siapa kedua orang tuaku. Bahkan aku berharap bahwa mereka adalah orang terpandang. Kenyataannya, mereka tidak lebih baik dari seorang buruh pabrik. Kupikir, mereka mencampakkanku karena diriku yang terlahir sakit. Kupikir mereka malu mempunyai anak seperti diriku. Namun, sekarang justru aku yang malu memiliki orang tua seperti mereka. Aku bersyukur bukan mereka yang merawatku. Setidaknya aku tumbuh menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari mereka.
Nenek juga bilang, sebenarnya ayah begitu menyayangiku. Namun, karena profesinya sebagai seorang pembunuh, ia terpaksa merahasiakan identitasku. Ia tak ingin aku menjadi incaran musuh-musuhnya. Aku pikir, apa benar ayah menyayangiku? Lantas, kenapa ia sama sekali tidak ingin menemuiku? Sekedar memastikan apa aku masih hidup atau tidak ?
Ayah ... aku ingin tahu bagaimana wajahmu? Apa kau juga pucat seperti diriku? Atau kau berwajah dingin karena kau seorang pembunuh?

Airmata Dimas kembali menetes. Kali ini ia biarkan mengalir.
Ridho, ternyata ini rahasia terbesarmu.
”Dimaaaaaassss!!!” teriak seseorang dari belakang. Belum sempat Dimas membuka lembar berikutnya, ia terusik dengan suara keras dari belakang.
GEMA! Dimas kaget. Sedapat mungkin ia menyembunyikan buku hitam milik Ridho. Dimas begitu takut kalau Gema akan mengadukan hal ini kepada Ridho. Semoga saja tidak terjadi!
”Dimas, kita harus ke rumah sakit sekarang! Ridho sakit!”
”Apa?!!! Ridho sakit?!” Dimas benar-benar tak bisa mempercayai berita yang baru saja ia dengar. Ya Rabb, apa yang terjadi dengan Ridho. Semoga ia baik-baik saja.
”Ayo, cepat! Tidak ada waktu lagi! Randa bilang Ridho benar-benar sekarat!
Tidak! Apa yang harus kulakukan! Ternyata waktu Ridho benar-benar sekarang! Aaarrgghh ... aku benci semua ini !
***
Menit berlalu. Ridho tak kunjung sadarkan diri. Tangan yang begitu erat digenggam Dimas pun tak juga bergerak.
Empat pemuda yang semula tertawa bersama, kini ketiga dari mereka hanya bisa beradu pandang. Berpikiran kosong. Sementara yang satunya hampir tak bernyawa. Kaku. Dingin. Tertidur nyenyak.
”Jadi, kenapa Ridho menyembunyikan semua ini dari kita?” Randa membuka mulutnya yang juga hampir kaku. Matanya terus menatap wajah pucat itu. Wajah yang menyembunyikan pesakitan tuannya.
”Karena dia tahu, hidupnya bukan untuk menyulitkan orang lain. Tapi untuk membahagiakan orang lain. Seperti itulah, senyumnya yang tak pernah pudar oleh penyakit yang sebenarnya begitu merapuhkannya.” Dimas semakin menggenggam erat tangan sahabatnya. Ia berharap tangan itu segera tergerak untuk sekedar kembali menggenggam tangannya.
”Lantas, bagaimana jika kita tak sempat lagi melihat senyumnya?”
”Aku pun tidak tahu. Aku hanya akan berterima kasih kepada Ridho yang telah mengubah hidupku menjadi lebih indah.”
Baru saja Dimas menutup mulutnya, tangan Ridho sedikit bergerak.
”Ridho!! Bangun! Kami bertiga ada di sini menemanimu!” Dimas membantu menyadarkan Ridho. Begitu pula dengan Randa dan Gema.
Sebisa mungkin Ridho membuka kedua matanya. Namun begitu sulit. Mata itu terus melekat. Tak mau sedikit pun membuka.
”Ridho, bangunlah! Kumohon ...” Dimas meneteskan air matanya.
”Dimas ...” lirih Ridho memanggil nama Dimas. Sejujurnya Ridho ingin sekali bangkit, duduk, dan memeluk ketiga temannya. Namun dirinya benar-benar tak sanggup.
”A...a...aku ingin ba...bangun.” Ridho terus berusaha mengeluarkan kata-katanya walaupun matanya masih tetap terpejam.
”Ridho, kenapa kau tidak cerita pada kami? Kau bilang, kita adalah sahabat dan tak ada rahasia di antara kita.”
”Ma...maaf teman. Aku hanya tak ... sanggup melihat ka ... kalian ikut ra ... rapuh. Cukup aku saja!”
”Kamu salah teman! Persahabatan bukanlah seperti itu. Ketika salah seorang di antara kita ada yang terluka, maka yang lainnya harus tetap kuat untuk menopang kerapuhan temannya yang terluka. Bukan ikut rapuh dan tak ada satu pun yang dapat menguatkannya.”
”Randa benar! Kita berempat memiliki karakter yang berbeda-beda. Ketika aku, Randa, ataupun Dimas yang rapuh, jatuh sakit, maka kaulah yang selama ini menguatkan kami bertiga. Lantas, kenapa kamu sendiri justru menyembunyikan kerapuhan ini? Ini tidak adil Ridho!”
”Sudahlah! Tak usah menyalahkan Ridho terus. Aku yakin ada alasan mengapa Ridho melakukan semua ini.”
”Terima kasih, teman-teman! Kalian semua hebat. Benar-benar hebat.” Ridho membuka matanya. Kali ini ia berhasil bahkan ia sanggup mengembangkan senyum untuk ketiga temannya.
”Wajahmu tetap sama. Pucat namun memikat!” desis Randa sambil tersenyum tipis. Gema dan Dimas juga ikut tersenyum.
”Ridho, apa harapanmu sekarang?” tanya Gema lembut.
”Tak ada!” jawab Ridho singkat sambil tetap tersenyum.
”Apa kau tidak ingin bertemu kedua orang tuamu?” tanya Dimas penasaran.
”Pasti kamu sudah baca buku hitam itu! Kamu ini memang berani. Nekat.”
”Maaf. Aku sungguh penasaran denganmu. Apa itu salah?” jawab Dimas gugup. Ia tahu Ridho pasti marah tapi semua itu ia lakukan justru karena ia begitu menyayangi temannya.
”Tak apa! Aku sudah melupakannya.”
Ridho berucap sambil memejamkan matanya. Ketiga temannya terdiam kaku. Tak dapat berkata apa-apa. Spontan Randa mendekatkan jari telunjuknya ke lubang hidung Ridho.
”Dia sudah pergi ...” ucap Randa sambil menghela napas panjang dan menatap surya di luar jendela kamar yang telah tenggelam.
Gema melihat langit-langit kamar. Sementara Dimas menggenggam erat tangan yang kini tak bernyawa.
(daneguka)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar