Minggu, 03 Oktober 2010

Catatan Kecil dari Bogor

Bogor ... sudah tahun ke-4 saya berada di kota hujan ini semenjak menikmati pendidikan di IPB. Yaa ... selama itu pula saya banyak memiliki catatan-catatan kecil tentang kota ini. Kota indah, kota penuh hujan, namun terselubung banyak misteri tentang saya dan sebuah kota imaji dalam hidup saya.
Betapa saya tidak bisa membayangkan, apakah setelah lulus dari IPB nanti, saya akan tetap tinggal di sini atau justru mengarungi kota lain yang tentu saja punya cerita lain. Namun, apapun yang akan terjadi nanti, saya masih belum mau memikirkannya.
Saat ini ... saya hanya ingin membagi cerita bahwa sesungguhnya di kota ini pula saya menemukan banyak cinta. Cinta yang begitu saya nantikan. Cinta yang akhirnya membuat saya sanggup memaknai siapa diri saya sesungguhnya.
Sejatinya ... bahwa saya hanyalah seorang gadis yang dibesarkan dari keluarga yang begitu sederhana. Hanya cinta tulus dari kedua orang tua saya yang selalu menjadikan cinta dalam keluarga kami menjadi terisitimewa. Awalnya, saya sangat tidak percaya bahwa saya akan sanggup tinggal di kota lain dan tentu saja berpisah dengan kedua orang tua saya. Saat itu saya berpikir, apakah saya akan mampu? Jujur saja, seseorang seperti saya, yang notabene nya seorang gadis bungsu dan hari-harinya selalu dipenuhi dengan kasih sayang berlebih dari orang tua saya (read : manja), berani memutuskan untuk hidup selama kurang lebih 4 tahun ke depan di kota yang berbeda dari tempat tinggal orang tuanya.
Butuh keberanian dan keyakinan kuat bagi saya. Akhirnya ... pada saat itu pula saya menyadari bahwa memang tiba saatnya saya harus hidup mandiri. Berusaha mencari jati diri saya sebenarnya dan tentu saja berusaha untuk berpeluh serta memaknai figur sesungguhnya dari diri saya sendiri.
Huff ... hari terus berlalu di kota ini. Banyak daerah-daerah di kota hujan ini yang menyaksikan saya tertawa lepas, tersenyum tipis, bahkan menangis bersama hujan yang memang sedang mengguyur kota ini saat itu.
Saya bersyukur atas semua perasaan yang saya rasakan selama berada di kota ini. Memang tak pernah dapat saya pungkiri bahwa di kota inilah sebagian jiwa saya belajar menjadi dewasa. Bahkan sebagian peluh saya bercucur, mengalir, dan saya juga akui bahwa di kota ini pula saya hampir tersenyum sempurna.

Begitulah ... sekarang saya berada di tahun ke-4 bersama kota hujan  ini. Semakin banyak cerita yang menguras perasaan saya. Semakin banyak cerita yang menderai tawa dan tangis saya.
Dan itulah ... saya benar-benar merasa bahwa di tahun ke-4 ini saya ingin membawa sesuatu dari kota ini untuk saya persembahkan kepada kedua orang tua saya.
Sebuah kelulusan ! Ya ... saya sedang menanti itu.
Dan malam inilah ketika saya menulis tentang sebuah catatan kecil dari Bogor, saya merasa ada getir dalam hati saya.
Bahkan gerimis yang turun malam ini seolah mengerti perasaan seorang penulis yang sedang menggoreskan tintanya.

Terima kasih ... untuk kota yang membuatku menjadi semakin bijaksana. (daneguka)

BEGITULAH ... SEHARUSNYA SAYA BERSAHABAT

Tulisan ini saya tulis ketika saya benar-benar ingin membantu teman saya, sementara teman saya tersebut sangat tidak percaya bahwa saya akan membantunya.
Awalnya saya agak kecewa ... teman saya berpikiran seperti itu. Tapi, sekali lagi saya berpikir. Toh, semua orang bebas berpendapat. Termasuk teman saya itu. SO,,, yang saya lakukan hanya terus meyakinkannya bahwa insya allah saya ingin membantunya.

"Sahabat" , kritis memang bila saya artikan maknanya. Betapa kita menginginkan bahwa "sahabat" adalah orang yang selalu ada di samping kita ketika kita benar-benar membutuhkannya dan betapa kita berharap bahwa "sahabat" adalah orang-orang yang menerima segala kekurangan dan kelebihan kita.

Namun ... sadarkah ? Ini semua hanya butuh "satu kekuatan". Kekuatan di dalam diri yang seharusnya membimbing langkah kita, mengulurkan tangan kita, merangkai senyum dan tawa kita, atau bahkan memecah tangis kita. Suatu kekuatan yang kita yakini bahwa sahabat memanglah "ada" tanpa harus kita paksakan keberadaannya.

Tidak pula menuntut ... namun pahamilah bahwa kaulah yang seharusnya dituntut.
Ya ... mulailah untuk menuntut diri sendiri "apakah kau telah berguna bagi sahabatmu?"
dan "apakah kau telah melakukan sesuatu yang besar untuk sahabatmu?" atau "apakah kau telah mengulurkan tangan setulus yang sahabat-sahabatmu harapkan?".

LANTAS ... "Apakah kau telah menghapus titik airmata sahabatmu yang sedang terluka?"
dan kesekian kalinya tuntutan lain yang membuat kita semakin mengerti bahwa sahabat adalah orang yang seharusnya lebih banyak kita tolong. Bukan orang yang justru lebih banyak menolong kita.

Sadarlah ... betapa "mengulurkan tangan untuk memberi sesuatu yang berharga itu akan lebih bermakna daripada mengulurkan tangan hanya untuk mengharapkan bantuan".
Terutama jika itu untuk sahabatmu ...
(untuk sahabatku tersebut ... Insya Allah aku akan selalu mengulurkan tangan ini semampuku dan jangan pernah ragu untuk menggenggam tanganku ini. dan tak ada suatu masalah yang harus kau salahkan. hanya saja ... kita harus lebih bijaksana dalam menghadapi semua permasalahan tersebut) (daneguka).

Segores tinta untuk ibunda

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil besih belum ternoda ...


Saya yakin hampir semua anak di Indonesia mengenal lagu itu. Dan tentu saja akan selalu menginspirasi setiap anak di manapun. Terutama ketika seorang anak tinggal jauh dari kedua orang tuanya, terutama ibunya.

Saya hanya ingin berbagi cerita mengenai apa yang saya rasakan dan apa yang saya alami.
Sungguh, saya benar-benar tak pernah bisa menggambarkan bagaimana kekuatan seorang ibu yang notabene nya harus menerima suatu kenyataan pahit.

Yaa ... ini hanya sebuah cerita. Tentu saja cerita yang nyata. Cerita tentang seorang wanita yang begitu membanggakan. Begitulah ... Ibu saya.
TErsentak ketika pertama kali tahu bahwa Ibu saya divonis suatu penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Untunglah ... kenyataan itu cepat diketahui sehingga semua keluarga dapat segera bertindak untuk kebaikan kondisinya.

Ibu ... memang tak aneh kalau mendengarnya masuk rumah sakit. Sejak saya kecil pun, beliau sering mondar-mandir di rumah perawatan itu. Karenanya tak heran jika saya terkadang mendapat telpon bahwa Ibu masuk rumah sakit.
Namun ... untuk pertama kalinya saya benar-benar tak habis pikir. MEngapa kali ini begitu berbeda ? Ya ... benar-benar berbeda.
Apalagi kenyataan mengenai Ibu yang sakit kanker baru saya ketahui ketika beliau akan dioperasi. Alasan keluarga saya ,,, hanya satu. Mereka tak ingin mengganggu kuliah saya. Sudahlah, mengenai alasan mereka yang memberi tahu saya belakangan, tidak pernah saya pikirkan. Saya justru sangat memikirkan kondisi Ibu saya pada saat itu. Huff ... subhanallah!

Bahkan ketika saya berada di sampingnya, padahal saya tahu beliau pasti sangat kesakitan, Ibu saya hanya bilang "Jangan khawatir! Mama baik-baik saja! Kamu kuliah saja, apalagi mau ujian kan ?"
Entah saya tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Saya hanya mengangguk, menuruti saja apa yang Ibu saya bilang.
Kalau saja beliau tahu, saya hanya kuat dan tanpa mengeluarkan airmata setitik pun ketika bersama beliau. Namun, ketika saya harus kembali ke Bogor dan berpisah dengan beliau, saya benar-benar berhujan airmata.

Itulah ... mungkin yang disebut kekuatan hati ketika orang yang sangat kita sayangi justru harus mendapat kekuatan dari kita. Yaaa ... aku percaya. Ibu saya memang tak membutuhkan airmata saya ketika itu. Beliau pasti hanya menginginkan doa dari saya agar operasinya berjalan sebagaimana mestinya.
Haaaa ... luar biasa! Hidup ini sungguh luar biasa!
Alhamdulillah ... operasi Ibu saya berjalan seperti yang diharapkan. Saya benar-benar bersyukur atas nikmat ini. Saya merasa sedikit lega setelah beberapa hari seolah napas saya sesak.
Tapi ... memanglah hidup akan terus indah jika kita selalu bersyukur. Saya tidak memungkiri kalau kondisi Ibu saya sekarang memang tidak seperti dulu lagi. Dan itulah ... sekali lagi saya dan keluarga saya (Termasuk Ibu saya) harus tetap bersyukur. Setidaknya Ibu saya masih memiliki kesempatan untuk melihat saya wisuda nanti (semoga ...aminn).
Saya benar-benar ingin menunjukkan apa yang selama ini diharapkan Ibu dan Ayah saya. Mungkin ... saya memang tak luar biasa seperti mahasiswa2 lain yang memiliki kesempatan berprestasi lebih. Namun, inilah saya.

Saya hanya ingin Ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya telah dewasa.
Saya hanya ingin Ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya selalu mencoba untuk ceria.
Saya hanya ingin ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya tahu bagaimana memperoleh hidup bahagia.

Dan itu semua ... karena saya begitu bangga terlahir dari rahim seorang ibu seperti dirinya. (daneguka)