Rabu, 15 Februari 2012

MY NAUGHTY PRINCE (CHAPTER 1 - POURNE HOUSE)

Jenna memperhatikan setiap detail permukaan kemeja lengan panjang yang dikenakannya. Ia memeriksa apakah ada sedikit bagian yang kusut pada kemejanya tersebut. Begitu juga dengan celana panjang hitam yang dikenakan sebagai pasangan kemejanya. Ia benar-benar memperhatikan dengan teliti. Hari ini adalah hari pentingnya. Ia benar-benar tak ingin melewatkannya tanpa kesan yang sempurna.
            Jenna begitu gugup. Sekali lagi ia menatap wajahnya yang terpantul jelas di depan cermin. Sempurna! Pikirnya kemudian.
            Sesaat ia langsung menyambar tas ransel kecil favoritnya. Kemudian mengenakan sepatu pantovel hitam yang semalam telah ia semir hingga mengkilap.
Ia nampak terburu-buru dan hampir terjatuh ketika menuruni tangga. Tentu saja, ia tak ingin terlambat.
            “Jenna, sarapanmu telah siap!” teriak Bibi Moon begitu mendengar hentakan kaki Jenna menuruni anak tangga.
            “Aku segera datang!” balas Jenna dengan lantang.
            Tiba di meja makan, Jenna menyambar segelas susu yang dibuatkan Bibi Moon setiap pagi dan mengolesi dua potong roti dengan selai kacang kesukaannya. Ia nampak terburu-buru melahap roti tersebut. Kemudian sesekali meneguk susu di gelasnya. Paman John dan Bibi Moon hanya bisa terkekeh melihat tingkah keponakan tersayangnya.
            “My Dear, bersikaplah tenang. Kau tidak akan bisa menikmati roti dan susu itu dengan baik,” ujar Bibi Moon lembut.
            “Aku tahu, Auntie. Tapi, sepertinya aku sangat gugup hari ini. Kau tahu kan kenapa?” jawab Jenna sambil tetap melahap roti di tangannya.
            “Kau harus tenang. Auntie yakin, kau pasti akan lolos menjadi pengawal raja.”
            “Aku juga yakin demikian …”
            Selesai ia melahap bagian roti terakhir, Jenna segera pergi. Ia tak lupa memberikan ciuman hangat pada Paman John dan Bibi Moon.
            Pagi indah di Negeri Pourne. Ia merasakan Pourne agak dingin. Sepertinya  musim dingin akan segera datang, pikirnya sejenak.
            Jenna memperhatikan ribuan daun yang telah berguguran di sepanjang jalan. Sesekali senyumnya mengembang. Ia terlalu bahagia. Bahkan ia benar-benar tak ingin ada seorang pun yang mengusik kebahagiannya. Ia bahkan tidak peduli pada Jessica dan teman-temannya yang begitu menyebalkan. Walau terkadang perbuatan mereka yang mengesalkan sulit dilupakan, namun kali ini Jenna tak ingin mengingatnya. Ia sama sekali tidak berpikir untuk membalas perbuatan konyol Jessica dan teman-temannya. Perbuatan seperti pada saat Jenna menjadi salah satu anggota pemandu sorak untuk tim basket di Pourne University. Jessica tampak tidak suka dengan Jenna karena Jenna terlihat manis di depan Sam. Sejak itulah, Jessica seolah meyalakan api peperangan terhadap Jenna. Hari-hari Jenna selalu dipenuhi dengan berbagai kekonyolan yang dibuat Jessica dan teman-temannya. Jenna pernah menerima permen karet yang super lengket di celana jeansnya. Ia bahkan pernah dihukum oleh Mrs. Kate karena dituduh menghilangkan karya ilmiah milik Jessica. Padahal saat itu, Jessica sendiri yang berusaha memasukkan karya ilmiah tersebut ke dalam tas Jenna. Sungguh menyebalkan! Jenna selalu berpikir demikian.
            Terlepas dari semua kekonyolan yang dibuat Jessica terhadapnya, Jenna hari ini benar-benar tak ingin menodai pikirannya dengan wajah buruk Jessica.
Jenna hanya bergumam, “Lihat saja nanti ketika kelak aku berhasil menjadi salah satu pengawal raja! Kau pasti akan merasa tercekik, Jess! Atau bahkan kau ingin bunuh diri?!”
Sekali lagi Jenna tersenyum puas.

***
            Pourne House yang begitu megah dan mempesona. Jenna tak berhenti menatap, matanya seolah tak mau berkedip. Jajaran rapi pohon-pohon besar yang membentang luas di taman Pourne House. Kemudian ada pula bunga anggrek putih dan ungu yang menambah kecantikan taman tersebut. Sungguh, Jenna sangat mengagumi keindahan dan kemegahan Pourne House. Tampak pula beberapa kolam air dengan berbagai patung pancuran yang terbuat dari marmer.
            “Jadi kau salah satu nominasi pengawal raja?” tanya seorang pria berumur 60 tahun pada Jenna. Pria itu bernama Phillip, asisten senior kepercayaan Raja Henry. Wajahnya seringkali muncul di harian kota Pourne ataupun siaran berita kota Pourne sebagai juru bicara Raja Henry apabila sang raja berhalangan hadir. Phil terlihat asyik mengendarai mobil mini yang dirancang khusus untuk para tamu Pourne House. Mereka biasa menyebut mobil tersebut Limoun. Jenna yang semula terlihat asyik menikmati pemandangan taman di Pourne House, tiba-tiba ia berpikir mengenai jawaban yang seharusnya ia jawab.
            “Benar, dan aku sangat yakin kalau aku akan lolos tes wawancara hari ini,” jawab Jenna penuh keyakinan. Matanya sesekali tetap memperhatikan keindahan taman Pourne House. Sementara Phil hanya tersenyum kecil, kemudian menatap sekilas wajah manis Jenna yang terlihat kagum dengan keindahan taman Pourne House.
            “Apakah kau pernah berpikir, pertanyaan apa saja yang akan diajukan oleh sang raja?” tanya Phil kembali.
            “Apa ya? Mungkin semacam hobi, kebiasaan baik dan buruk, serta prestasi akademikku …” Jenna tampak berpikir. Ia tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Benar kata Phil, kira-kira pertanyaan apa saja yang akan diajukan oleh sang raja kepadanya. Dan seharusnya ia sudah siap dengan semua jawaban-jawaban itu.
            “Apa kau pernah bertemu dengan sang raja sebelumnya?”
            “Belum, dan hari ini akan menjadi hari pentingku karena akhirnya aku dapat melihat sang raja secara langsung.”
            “Lalu, jika kau sudah bertemu dengan sang raja?”
            “Aku akan meyakinkan sang raja bahwa aku mampu menjadi salah satu pengawalnya.” Jenna tersenyum tipis. Entah mengapa pria tua itu menanyakan dirinya mengenai berbagai hal yang tidak ia mengerti, bagi Jenna sama sekali tak masalah. Ia hanya tahu bahwa keinginannya untuk bertemu sang raja secara langsung akan segera terwujud.
Impian Jenna untuk bertemu sang raja secara langsung muncul ketika ayahnya bercerita bahwa Negeri Pourne memiliki seorang raja yang sangat baik hati. Raja yang bijak, dan tentu saja seorang raja yang sangat mencintai rakyatnya. Sejak saat itulah, impian Jenna untuk menjadi dokter khusus keluarga kerajaan selalu melekat di otaknya. Mungkin sekarang memang belum waktunya ia menjadi dokter khusus keluarga kerajaan, tapi setidaknya ia bahagia karena memiliki kesempatan untuk menjadi pengawal kerajaan. Walaupun ia tahu, resikonya sangat besar. Jenna benar-benar sudah memikirkan hal itu. Bahkan Paman John dan Bibi Moon sudah menyetujuinya.
“Well, welcome to the Pourne House …” ucap Phil begitu limoun tepat berada di depan pintu utama Pourne House. Mata Jenna begitu berbinar. Ia bahkan hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Pourne House ...
Sebuah istana megah keluarga kerajaan.
Jenna menghela napas dalam. Ia membenahi kemejanya yang terlihat kusut. Ia juga tampak mengeluarkan sebuah cermin kecil untuk memastikan bahwa polesan make-up nya tidak luntur atau sekedar berantakan.
Tak lama ia bergegas memasuki Pourne House bersama dengan Phil yang mengendarai Limoun untuknya. Jantung Jenna berdegup kencang. Ia begitu gugup. Kemudian ia mencoba untuk menarik napas dalam. Menenangkan pikirannya sejenak.
“Kau baik-baik saja?” tanya  Phil menyadari ketidaknyamanan Jenna.
“Oh, tidak! Aku baik-baik saja. Kau tahu, aku hanya sedikit gugup.”
“Kau tak perlu takut. Kau cukup menjawab apa yang ditanyakan nanti.”
“Baiklah … Aku mengerti maksudmu.” Jenna tersenyum kecil. Begitu juga dengan Phil.
Tampak beberapa pengawal kerajaan menatap ke arah Phil dan Jenna. Kemudian salah seorang dari pengawal kerajaan membukakan pintu Pourne House.
Jenna semakin kagum. Kali ini ia membuka lebar-lebar kedua matanya. Melihat ke sekeliling aula depan Pourne House yang berada di depan matanya. Banyak patung dan lukisan mahal yang terpajang rapi. Ada pula lampu hias yang begitu kemilau. Semua ini adalah milik Pourne House. Istana megah yang selama ini tidak pernah dipublikasikan oleh media. Ada suatu larangan khusus bagi pers untuk mempublikasikan istana ini. Kabarnya Raja Henry tidak begitu suka apabila istana pribadinya terlalu diekspos kepada publik. Mungkin ia hanya bersikap rendah hati, pikir Jenna sejenak. Walau bagaimanapun, ia adalah seorang raja yang tidak sombong. Tentu saja ia tidak ingin apabila pers terlalu mengekspos kekayaannya.
            “Well, Jenna. Duduklah bersama mereka, dan tunggu giliranmu untuk dipanggil.” Phil memberikan intruksi kepada Jenna. Kemudian ia bergegas pergi ke suatu ruangan.
            Jenna melihat ada sembilan orang lainnya yang juga menunggu giliran wawancara. Ada tujuh pria dan tiga wanita yang kurang lebih seumuran dengannya atau terpaut dua sampai tiga tahun di bawah dan di atas umurnya. Jenna tersenyum sekilas kepada mereka. Kemudian ia mengambil posisi duduk di samping seorang wanita berambut pirang yang terlihat lebih tua darinya.
            “Hai …” sapa Jenna sambil tersenyum hangat.
            “Hai, siapa namamu? Aku Megan,” balas wanita itu ramah.
            “Aku Jenna Thompson. Panggil aku Jenna.”
            “So, kau juga menjadi nominasi?” tanya Megan begitu ramah. Ia tampak tersenyum kecil.
            “Ya, tepatnya seperti itu,” jawab Jenna singkat.
            “Hmmm … bagaimana perasaanmu? Apa kau bahagia?” Megan bertanya kembali.
            “Ini sangat luar biasa! Kau tahu, aku begitu gugup. Bahkan aku sama sekali tidak bisa berpikir.”
            Megan tertawa. Ia sangat geli melihat ekspresi wajah Jenna yang sangat gugup.
            “Apa kau tidak gugup?” tanya Jenna ketika menyadari bahwa Megan sedang menertawainya.
            “Iya, aku pun demikian. Tapi sepertinya tidak segugup dirimu.”
            “Begitu ya, entahlah. Aku benar-benar gugup.”
            “Kau harus tenang. Raja Henry pasti butuh seorang pengawal kerajaan yang sangat tenang.”
            “Kau benar, Megan. Seharusnya aku tidak gugup seperti ini.” Kali ini Jenna menarik napas dalam. Ia berusaha mengatur napasnya.
            Siang semakin berlalu. Matahari di Negeri Pourne sudah meninggi sejak 2 jam yang lalu. Jenna melangkahkan kakinya dengan kesal. Ia masih kecewa karena kesempatannya untuk bertemu dengan sang raja hilang begitu saja. Ia pikir, wawancara kali ini akan dilakukan oleh raja langsung, tapi ternyata tidak. Jelas saja, mana mungkin sang raja bersusah payah mewawancarai orang-orang sementara pengawalnya tersebar dimana-mana. Sekali lagi Jenna merutuk kesal.
            Sudahlah … mungkin aku akan bertemu sang raja ketika aku benar-benar berhasil menjadi pengawal kerajaan.
            Gumam Jenna dalam hati. Ia sangat berharap kalau dirinya akan lolos menjadi pengawal raja. Dan ia akan tahu hal itu besok.


To be continue .... 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar