Minggu, 03 Oktober 2010

Catatan Kecil dari Bogor

Bogor ... sudah tahun ke-4 saya berada di kota hujan ini semenjak menikmati pendidikan di IPB. Yaa ... selama itu pula saya banyak memiliki catatan-catatan kecil tentang kota ini. Kota indah, kota penuh hujan, namun terselubung banyak misteri tentang saya dan sebuah kota imaji dalam hidup saya.
Betapa saya tidak bisa membayangkan, apakah setelah lulus dari IPB nanti, saya akan tetap tinggal di sini atau justru mengarungi kota lain yang tentu saja punya cerita lain. Namun, apapun yang akan terjadi nanti, saya masih belum mau memikirkannya.
Saat ini ... saya hanya ingin membagi cerita bahwa sesungguhnya di kota ini pula saya menemukan banyak cinta. Cinta yang begitu saya nantikan. Cinta yang akhirnya membuat saya sanggup memaknai siapa diri saya sesungguhnya.
Sejatinya ... bahwa saya hanyalah seorang gadis yang dibesarkan dari keluarga yang begitu sederhana. Hanya cinta tulus dari kedua orang tua saya yang selalu menjadikan cinta dalam keluarga kami menjadi terisitimewa. Awalnya, saya sangat tidak percaya bahwa saya akan sanggup tinggal di kota lain dan tentu saja berpisah dengan kedua orang tua saya. Saat itu saya berpikir, apakah saya akan mampu? Jujur saja, seseorang seperti saya, yang notabene nya seorang gadis bungsu dan hari-harinya selalu dipenuhi dengan kasih sayang berlebih dari orang tua saya (read : manja), berani memutuskan untuk hidup selama kurang lebih 4 tahun ke depan di kota yang berbeda dari tempat tinggal orang tuanya.
Butuh keberanian dan keyakinan kuat bagi saya. Akhirnya ... pada saat itu pula saya menyadari bahwa memang tiba saatnya saya harus hidup mandiri. Berusaha mencari jati diri saya sebenarnya dan tentu saja berusaha untuk berpeluh serta memaknai figur sesungguhnya dari diri saya sendiri.
Huff ... hari terus berlalu di kota ini. Banyak daerah-daerah di kota hujan ini yang menyaksikan saya tertawa lepas, tersenyum tipis, bahkan menangis bersama hujan yang memang sedang mengguyur kota ini saat itu.
Saya bersyukur atas semua perasaan yang saya rasakan selama berada di kota ini. Memang tak pernah dapat saya pungkiri bahwa di kota inilah sebagian jiwa saya belajar menjadi dewasa. Bahkan sebagian peluh saya bercucur, mengalir, dan saya juga akui bahwa di kota ini pula saya hampir tersenyum sempurna.

Begitulah ... sekarang saya berada di tahun ke-4 bersama kota hujan  ini. Semakin banyak cerita yang menguras perasaan saya. Semakin banyak cerita yang menderai tawa dan tangis saya.
Dan itulah ... saya benar-benar merasa bahwa di tahun ke-4 ini saya ingin membawa sesuatu dari kota ini untuk saya persembahkan kepada kedua orang tua saya.
Sebuah kelulusan ! Ya ... saya sedang menanti itu.
Dan malam inilah ketika saya menulis tentang sebuah catatan kecil dari Bogor, saya merasa ada getir dalam hati saya.
Bahkan gerimis yang turun malam ini seolah mengerti perasaan seorang penulis yang sedang menggoreskan tintanya.

Terima kasih ... untuk kota yang membuatku menjadi semakin bijaksana. (daneguka)

BEGITULAH ... SEHARUSNYA SAYA BERSAHABAT

Tulisan ini saya tulis ketika saya benar-benar ingin membantu teman saya, sementara teman saya tersebut sangat tidak percaya bahwa saya akan membantunya.
Awalnya saya agak kecewa ... teman saya berpikiran seperti itu. Tapi, sekali lagi saya berpikir. Toh, semua orang bebas berpendapat. Termasuk teman saya itu. SO,,, yang saya lakukan hanya terus meyakinkannya bahwa insya allah saya ingin membantunya.

"Sahabat" , kritis memang bila saya artikan maknanya. Betapa kita menginginkan bahwa "sahabat" adalah orang yang selalu ada di samping kita ketika kita benar-benar membutuhkannya dan betapa kita berharap bahwa "sahabat" adalah orang-orang yang menerima segala kekurangan dan kelebihan kita.

Namun ... sadarkah ? Ini semua hanya butuh "satu kekuatan". Kekuatan di dalam diri yang seharusnya membimbing langkah kita, mengulurkan tangan kita, merangkai senyum dan tawa kita, atau bahkan memecah tangis kita. Suatu kekuatan yang kita yakini bahwa sahabat memanglah "ada" tanpa harus kita paksakan keberadaannya.

Tidak pula menuntut ... namun pahamilah bahwa kaulah yang seharusnya dituntut.
Ya ... mulailah untuk menuntut diri sendiri "apakah kau telah berguna bagi sahabatmu?"
dan "apakah kau telah melakukan sesuatu yang besar untuk sahabatmu?" atau "apakah kau telah mengulurkan tangan setulus yang sahabat-sahabatmu harapkan?".

LANTAS ... "Apakah kau telah menghapus titik airmata sahabatmu yang sedang terluka?"
dan kesekian kalinya tuntutan lain yang membuat kita semakin mengerti bahwa sahabat adalah orang yang seharusnya lebih banyak kita tolong. Bukan orang yang justru lebih banyak menolong kita.

Sadarlah ... betapa "mengulurkan tangan untuk memberi sesuatu yang berharga itu akan lebih bermakna daripada mengulurkan tangan hanya untuk mengharapkan bantuan".
Terutama jika itu untuk sahabatmu ...
(untuk sahabatku tersebut ... Insya Allah aku akan selalu mengulurkan tangan ini semampuku dan jangan pernah ragu untuk menggenggam tanganku ini. dan tak ada suatu masalah yang harus kau salahkan. hanya saja ... kita harus lebih bijaksana dalam menghadapi semua permasalahan tersebut) (daneguka).

Segores tinta untuk ibunda

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil besih belum ternoda ...


Saya yakin hampir semua anak di Indonesia mengenal lagu itu. Dan tentu saja akan selalu menginspirasi setiap anak di manapun. Terutama ketika seorang anak tinggal jauh dari kedua orang tuanya, terutama ibunya.

Saya hanya ingin berbagi cerita mengenai apa yang saya rasakan dan apa yang saya alami.
Sungguh, saya benar-benar tak pernah bisa menggambarkan bagaimana kekuatan seorang ibu yang notabene nya harus menerima suatu kenyataan pahit.

Yaa ... ini hanya sebuah cerita. Tentu saja cerita yang nyata. Cerita tentang seorang wanita yang begitu membanggakan. Begitulah ... Ibu saya.
TErsentak ketika pertama kali tahu bahwa Ibu saya divonis suatu penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Untunglah ... kenyataan itu cepat diketahui sehingga semua keluarga dapat segera bertindak untuk kebaikan kondisinya.

Ibu ... memang tak aneh kalau mendengarnya masuk rumah sakit. Sejak saya kecil pun, beliau sering mondar-mandir di rumah perawatan itu. Karenanya tak heran jika saya terkadang mendapat telpon bahwa Ibu masuk rumah sakit.
Namun ... untuk pertama kalinya saya benar-benar tak habis pikir. MEngapa kali ini begitu berbeda ? Ya ... benar-benar berbeda.
Apalagi kenyataan mengenai Ibu yang sakit kanker baru saya ketahui ketika beliau akan dioperasi. Alasan keluarga saya ,,, hanya satu. Mereka tak ingin mengganggu kuliah saya. Sudahlah, mengenai alasan mereka yang memberi tahu saya belakangan, tidak pernah saya pikirkan. Saya justru sangat memikirkan kondisi Ibu saya pada saat itu. Huff ... subhanallah!

Bahkan ketika saya berada di sampingnya, padahal saya tahu beliau pasti sangat kesakitan, Ibu saya hanya bilang "Jangan khawatir! Mama baik-baik saja! Kamu kuliah saja, apalagi mau ujian kan ?"
Entah saya tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Saya hanya mengangguk, menuruti saja apa yang Ibu saya bilang.
Kalau saja beliau tahu, saya hanya kuat dan tanpa mengeluarkan airmata setitik pun ketika bersama beliau. Namun, ketika saya harus kembali ke Bogor dan berpisah dengan beliau, saya benar-benar berhujan airmata.

Itulah ... mungkin yang disebut kekuatan hati ketika orang yang sangat kita sayangi justru harus mendapat kekuatan dari kita. Yaaa ... aku percaya. Ibu saya memang tak membutuhkan airmata saya ketika itu. Beliau pasti hanya menginginkan doa dari saya agar operasinya berjalan sebagaimana mestinya.
Haaaa ... luar biasa! Hidup ini sungguh luar biasa!
Alhamdulillah ... operasi Ibu saya berjalan seperti yang diharapkan. Saya benar-benar bersyukur atas nikmat ini. Saya merasa sedikit lega setelah beberapa hari seolah napas saya sesak.
Tapi ... memanglah hidup akan terus indah jika kita selalu bersyukur. Saya tidak memungkiri kalau kondisi Ibu saya sekarang memang tidak seperti dulu lagi. Dan itulah ... sekali lagi saya dan keluarga saya (Termasuk Ibu saya) harus tetap bersyukur. Setidaknya Ibu saya masih memiliki kesempatan untuk melihat saya wisuda nanti (semoga ...aminn).
Saya benar-benar ingin menunjukkan apa yang selama ini diharapkan Ibu dan Ayah saya. Mungkin ... saya memang tak luar biasa seperti mahasiswa2 lain yang memiliki kesempatan berprestasi lebih. Namun, inilah saya.

Saya hanya ingin Ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya telah dewasa.
Saya hanya ingin Ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya selalu mencoba untuk ceria.
Saya hanya ingin ibu saya melihat betapa sang anak bungsunya tahu bagaimana memperoleh hidup bahagia.

Dan itu semua ... karena saya begitu bangga terlahir dari rahim seorang ibu seperti dirinya. (daneguka)

Rabu, 15 September 2010

Ketika saya mengerti pada pilihan hidup saya sendiri

Semula … saya berpikir bahwa memasuki lembaga ini (read : Dewan Perwakilan Mahasiswa) merupakan amanat teman-teman sekelas untuk saya. Tapi … setelah mengikuti SG (Stadium General) di training kedua DPM yang dipimpin K’Nazrul … ternyata SALAH !!! Begini ceritanya … ^^
Dewan Perwakilan Mahasiswa ... Pilihan orang lain ? atau Pilihan hidup sendiri ?
Itulah yang selalu menjadi bayang-bayang hitam para calon anggota DPM di manapun, baik itu di tingkat fakultas ataupun di tingkat universitas. Hal ini pula yang membuat para calon anggota DPM nantinya akan bekerja secara tidak professional. Akibatnya, DPM menjadi organisasi yang sangat kaku dan tentunya akan menghadapi segala permasalahan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Sebagian besar orang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri. Terkadang … mereka lebih bisa menerima keputusan orang lain yang tidak diyakininya daripada menerima keputusan sendiri yang justru ia yakini (dengan alasan tidak enak jika harus menolak permintaan dari orang lain). Orang-orang seperti inilah yang akan mengingkari banyak amanat. Mengapa ? Biasanya orang yang tidak percaya dengan keputusannya atau lebih percaya dengan keputusan orang lain, dia akan menghakimi bahwa itu bukan keputusannya (suatu saat nanti jika berada dalam keadaan terdesak). Orang tersebut cenderung melepas tanggung jawab dan berpikir bahwa itu bukan tanggung jawabnya. Ketika hal itu terjadi, maka ia pun tidak akan berkontribusi penuh bahkan niat awal yang ingin mengemban amanah dari banyak orang menjadi sia-sia. Banyak amanah yang akan terbengkalai nantinya.
Lantas bagaimana ?
Tujuan hidup seseorang harus diseimbangkan dengan organisasi yang diikuti sehingga nantinya perjalanan hidup akan searah dan terfokus. Pertama, pahami benar organisasi mana yang cocok dan seimbang dengan pikiran dan perjalanan hidup kita. Jangan pernah merasa sanggup ketika hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan hidup kita. KEdua, tujuan mengikuti organisasi agar kita dapat berkontribusi lebih banyak dan menjadi orang-orang yang senantiasa bermanfaat bagi banyak orang. Ketiga, apabila kita telah memasuki dan berkomitmen pada suatu organisasi maka konsisten dengan komitmen tersebut. Selain itu, berusaha untuk menjadi yang terbaik agar kita senantiasa termotivasi untuk memberikan yang terbaik kepada banyak orang.
Seperti itulah ... saya hanya mencoba berbagi cerita tentang perasaan saya ketika pertama kali mengikuti sebuah organisasi yang benar-benar menantang. Awalnya, saya begitu takut, begitu ragu, bahkan ingin mengundurkan diri. Namun, saya yakin bahwa segala sesuatu yang tidak dicoba maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana pahit manisnya. Akhirnya ... saya benar-benar berada pada posisi yang sangat menantang. Dan itulah ... begitu banyak haluan yang saya lalui. Dan tentu saja, semua itu punya cerita tersendiri yang begitu berkesan di hati saya.
Sebenarnya hampir tidak percaya, seseorang seperti saya menjadi salah satu bagian dari pejuang di dalam organisasi tersebut. Kemudian, sekali lagi saya mengelakkan pikiran saya tersebut. Dan alhamdulillah ... saya terus bersemangat. Saya sadar posisi saya di organisasi tersebut memiliki tanggung jawab yang besar. Saya harus benar-benar tangguh menghadapinya.
Kalau ingin berbagi cerita, saya seperti sulit mengungkapkannya. Posisi saya saat itu dan sampai sekarang masih menjabat (insya Allah sampai akhir tahun 2010) adalah seorang bendahara Dewan Perwakilan Mahasiswa FMIPA IPB. Sungguh! Saya menghela napas panjang ketika mendengar semua kenyataan itu. Entah harus bersyukur atau banyak beristighfar. Namun, keduanya tetap saya lakukan. Saya bersyukur karena ALLAH SWT mempercayakan saya untuk mengemban amanat itu, padahal saya sendiri tidak begitu yakin dengan kemampuan saya. Saya juga beristighfar karena saya sadar betul inilah rencana ALLAH SWT yang terbaik untuk saya dan saya tidak boleh menyia-nyiakannya. Karena apabila saya sia-siakan, maka saya akan sangat berdosa!
Jatuh bangun saya merangkai kekuatan untuk tetap bertahan pada semangat saya. Jujur saja, air mata mengalir, tawa pun juga menderai. Terkadang saya selalu menemukan kejutan dalam menjalani hari-hari saya. Ya ... dan juga hampir sering saya bisa meneteskan airmata dan merangkai tawa walaupun tanpa berganti hari. Menakjubkan! Hal ini benar-benar menguras pikiran dan jiwa saya. Bahkan ketika saya begitu lelah, saya hanya bisa mengeluh, pasrah, dan tak terperdaya dengan keadaan sakit yang menerpa saya. Rasanya saya ingin menyerah dan berharap ada yang bersedia menggantikan posisi saya. Banyak perasaan yang saya sembunyikan dari sahabat-sahabat saya. Tujuannya hanya satu, saya tidak ingin menyerah. Hanya dengan cara itu saya bisa mengendalikan semangat saya. Saya merasa hanya saya yang boleh tahu bagaimana keadaan saya. Hampir lelah ... maka saya pun banyak memohon pada-Nya. Saya memohon kemudahan dan setidaknya bukan perkara lagi yang akan menerpa saya. Namun, itulah ... kesabaran dan kekuatan semangat saya benar-benar sedang diuji. Lagi-lagi saya menemukan perkara-perkara yang amat sakit. Kali ini bahkan tidak saja dari sudut posisi saya di organisasi itu. Perkara datang dari berbagai posisi saya. Baik itu posisi saya di keluarga maupun sebagai mahasiswa biasa. Huff ... dan kenyataannya peluh saya mengucur. Beriring dengan perkara yang menyakiti segenap perasaan saya. Sesak! Saya benar-benar ingin berteriak.
Astaghfirullah ... akhirnya hanya kalimat itu yang sanggup saya ucapkan. Saya sadar, dari ribuan orang yang sakit saat itu, mungkin pesakitan saya sangat tak ada apa-apanya. Saya ingat komitmen dan janji saya terdahulu. Inilah ... ya memang ini yang akan saya hadapi. Akhirnya saya tersenyum kecil dengan sedikit airmata yang masih menetes dari kedua mata saya. Saya mengharu biru, lalu kembali kelabu. Namun, sekali lagi, saya tetap tersenyum.
Entahlah ... pengalaman memang selalu berharga bagi siapa saja yang melewatinya. Jujur saja, memang SANGAT TAK MUDAH berada di posisi saya hingga sekarang ini. Saya hanya bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik dan tentu saja berharap bahwa apapun yang telah saya lakukan, akan menjadikan saya lebih kuat. Semangat teman-teman !!! Semoga pengalaman saya bisa menginspirasi kehidupan teman-teman. Menyerahlah hingga engkau tak sanggup lagi mengeluarkan peluh. (daneguka). 24 Agustus 2010

Ketika aku mengagumi warna-warni pelangi

Sore itu … hujan baru saja berhenti . Aku menemukan sesuatu yang benar-benar tak bisa kulepas pandanganku. Mempesona diriku. Membuatku jatuh hati.
Pelangi itu … warna-warninya selalu teringat hingga sekarang. Saat itu aku tak lagi bahagia namun tak juga lagi berduka. Entah mengapa … warna-warni itu begitu mempesonaku.
Warna-warni itu mengingatkan aku pada-Nya, pada mama dan papaku, pada keluargaku, pada sahabat-sahabatku, dan pada semua orang yang pernah singgah dalam hidupku.
Ya … warna-warni pelangi itu. Aku benar-benar tak pernah bisa berhenti berucap syukur pada-Nya. Akulah wanita beruntung ! Karena sempat melihat keindahan pelangi itu. Membuatku semakin menyadari bahwa aku sama dengan pelangi itu.
Aku … sama dengan pelangi itu.
Punya warna-warni indah dalam kehidupanku … yang tentunya sudah ditakdirkan oleh-Nya.
Maka … aku pun harus percaya bahwa segala yang menjadi takdirku dalai yang terbaik untukku dari-Nya. Termasuk saat aku memiliki kesempatan untuk melihat keindahan warna-warni pelangi itu.
Alhamdulillah … aku semakin mengerti !
(daneguka)

Rasalah ! Rasa itu!

Rasa ...
Karena itu aku di sana
Rasa ...
Kehadirannya buatku tepiskan segala nyata
Rasa ..
Dengannya aku tak lagi lara

Rasa ... prahara ...
Aku hanya terpana
Rasa ... jiwa ...
Aku pun terlena
Rasa ... fana ...
Semukah ? Atau ... hanya imajinasi kata ?

Rasalah ! Rasa itu
Maka aku pun bahagia
Walau tak juga termakna

Rasa itu ! Rasalah
Demikian juga
Aku ada
(daneguka)

Manis itu, Manis yang Kurasa

Berkelana, entah kemana …
Maka jauhkanlah dia dariku
Aku sungguh tak tahu mana yang benar
Aku bimbang
Aku tegang
Aku tak tenang
Bahkan aku sama sekali tak siap menerjang

Batu nisan itu hampir rapuh
Menggambarkan kerapuhan aku juga
Dia juga
Orang lain juga
Siapa sajalah !

Lagu hampir habis
Namun, makna syairnya tak juga membuatku menangis
Hingga miris, hingga mengiris
Justru kurasa manis !!
Ya … manis.
(daneguka)

Ketika aku rindu pulang

Bunga indah, pekat malam, terang bulan
Namun tanpa bintang
Kemana bintang?
Hilang! Seperti rasa bahagia dalam dada
Ya, bimbang!
Aku bimbang! Bukan karena hutang! Bukan pula karena tak bisa pulang!
Aku bimbang! Karena tak menang!
Tak menang! Tak Menantang! Sang arogan!
Banyak orang! Lalu lalang!
Banyak ilalang! Seperti kepayang!
Ada layang-layang! Terbang!
Ada belalang! Bersemayam!
Ada musang! Berkejaran!
Oh, aku ingin pulang!
(daneguka)

Surya Tenggelam

Surya itu terbit dengan indah. Jingganya hampir memenuhi seluruh langit. Bau segar daun menambah kepekatan aroma pagi. Itu yang selalu kusuka ketika pagi. Damai. Tenang. Jauh dari ketegangan. Jauh dari segala kemusnahan.
Ya Rabb, aku percaya semua ini adalah Kuasa-Mu. Begitu juga aku percaya ketika aku tak sanggup lagi menopang tubuh ini, Kau akan selalu ada untukku. Aku tahu, kehendak-Mu tak akan pernah bisa kuubah. Namun, aku yakin, semua yang Kau pilihkan untukku adalah sesuatu yang tak mungkin merapuhkanku, tetapi justru sebaliknya, menguatkanku.
Ya Rabb, aku selalu bersyukur, mengapa aku bisa tinggal bersama dengan mereka. Mereka yang begitu istimewa di mataku. Mereka yang kuat. Mereka yang tak pernah kenal menyerah.
Dimas, Randa, dan Gema. Mereka berjuang di sini hanya untuk membawa nama baik dari daerahnya. Begitu bangga saat mereka menceritakan bagaimana kampung halaman mereka. Aku tak bisa bayangkan kuatnya hati mereka ketika meninggalkan orang tua mereka hanya untuk satu tujuan. Ya, tujuan yang pastinya begitu menjanjikan masa depan mereka. Aku yakin, mereka adalah calon orang sukses yang nantinya akan mengharumkan negara ini. Aku bangga, sangat bangga, ketika aku bisa satu kamar dengan mereka di asrama ini.
Ya Rabb, aku semakin yakin bahwa apa yang menjadi jalan hidupku selama ini adalah sesuatu yang harus kulewati. Bukan untuk kuhindari. Bukan untuk kutakuti. Maka, aku pun tak akan pernah menyesal, aku pun tak akan pernah takut, untuk hidup ini. Hidup yang lebih indah dari apa yang pernah kulihat.

_Ridho_
***









Empat pemuda dalam satu tujuan. Melangkahkan kakinya dengan lincah. Tawa mereka memecah, meramaikan deretan sunyi jalan di pagi hari.
”Lihat !! Ikan itu ! Oh, seandainya di asrama ada dapur, sudah kubuatkan kalian ikan bakar paling lezat.” Salah satu di antara mereka berteriak gembira.
Gema, pria asal Sulawesi itu ingat pantai di kampung halamannya. Setiap pagi ia biasa menjaring ikan bersama ayahnya. Kali ini berbeda, ia hanya bisa pasrah begitu melihat ikan besar melintas di pinggiran sungai.
”Hei Gema, memang kau bisa masak ?” sahut Dimas dengan logat khas Medan yang begitu kental.
”Jangan remehkan aku ! Biar begini, aku sering membantu ibuku di dapur.”
”Ridho, dengar itu teman kau ! Sombong sekali !” Lagi-lagi Dimas menimpali. Ridho hanya tersenyum kecil. Pikirannya jauh mengangkasa begitu melihat wajahnya terpantul jelas dalam genangan air di sungai itu. Wajah pucat, namun selalu memikat. Tak ada seorang pun yang berkomentar tentang wajah pucat itu. Kharisma yang terpancar mengalahkan segalanya.
”Ridho, kamu tak apa ?” Randa, pemuda dingin asal Aceh, selalu tanggap dengan keadaan di sekitarnya. Sifatnya yang terlihat angkuh terhadap lawan jenis, tak pernah ia tunjukkan di hadapan ketiga temannya. Justru sebaliknya, ia begitu lembut. Ia hanya agak kaku dengan wanita, bukan benci.
Ridho menggeleng sambil tersenyum lebar. Tangannya menepuk pundak Randa dengan penuh semangat.
”Aku tak apa !” jawabnya singkat sambil beranjak pergi.
”Ayo, teman ! Matahari hampir tinggi !” teriaknya kemudian sambil berlari.
Gema, Dimas, dan Randa segera menyusul. Mereka semua tertawa lepas seolah dunia ini benar-benar milik mereka.

***
Sketsa kehidupan pagi telah usai. Peluh mereka pun mengucur deras. Ridho, Gema, Randa, dan Dimas, hubungan mereka semakin erat dengan persahabatan yang mereka jalin. Persahabatan yang benar-benar indah dan penuh makna.
Enam bulan telah berlalu, masing-masing dari mereka semakin mengerti apa arti hidup ini. Hidup mereka yang berubah seratus delapan puluh derajat begitu mereka meninggalkan kehidupan yang terdahulu. Status mahasiswa yang mereka sandang, membuat mereka semakin matang dalam berpikir.
Cintai hidup, maka cintailah orang di sekitarmu juga lingkunganmu.
Itulah motto persahabatan mereka. Entah bagaimana mereka mengartikan kata-kata itu di dalam diri mereka, yang terpenting adalah saat salah satu dari mereka ada yang menangis, maka yang lainnya akan meminjamkan punggung untuk sekedar menopang kerapuhan temannya.
Bertahan ! Ya, satu-satunya yang dapat mereka lakukan ketika rapuh menjelang.
Teringat, ketika pertama kali mereka menginjakkan kaki di dunia baru ini, dunia yang ternyata jauh lebih mengasyikkan dari sekedar hidup untuk menikmati sebatang coklat. Dunia yang lebih manis dari gula yang pernah mereka cicipi. Namun, ada kalanya, dunia di sini pula yang lebih pahit dari sekedar memungut uang di tengah jalan.
”Hei, kita makan di sana saja ! Sepertinya warung baru. Bagaimana ?” ujar Dimas penuh semangat.
”Boleh !” Randa menanggapi. Begitu juga dengan Ridho dan Gema, mereka mengangguk kompak.
”Selesai makan, masih siap menyelesaikan misi kita selanjutnya?” tanya Gema kepada ketiga temannya.
”Semangat !!” teriak Dimas.
”Ya, aku juga sama. Semangat !” susul Randa.
”Ridho ?”
Wajah pucat itu kembali kuyu. Entah apa yang dipikirkannya belakangan ini, yang sering terlihat oleh ketiga temannya, hanya wajah tak bersemangat itu.
”Ridho?” sekali lagi Dimas memanggil namanya.
”Ada apa ?” Randa memegang pundak Ridho sambil menatap dalam.
”Boleh aku tidak ikut ?” ucap Ridho lirih. Suasana tegang meliputi ketiga temannya.
”Lupakan ! Ayo, kita makan !” Ridho tersenyum melihat teman-temannya tak berkutik. Ia segera berjalan menuju warung itu.
”Teman ! Kau masih ingat janji kita ?” ucapan Dimas menghentikan langkah Ridho. Ia pun membalikkan badan.
”Tak pernah kulupa.”
”Lantas, bagaimana dengan wajah pucatmu ? Satu hal yang selalu terlintas dalam pikiranku, kau berbeda.”
”Apa maksudmu ?”
”Anak kecil pun tahu, semua orang normal tak berwajah pucat. Kecuali kau !”
”Dimas !!” bentak Randa. Suaranya membuat burung-burung kembali terbang dari pepohonan.
”Maaf ....”
***
Tak terungkap satu duka ...
Ketika hatimu enggan berbicara

Dimas membentakku !
Sekaligus orang pertama yang berkomentar tentang wajah pucat ini
Saat itu, aku tetap diam
Ia pun berucap ”Maaf”

_Ridho_

***

Ridho melangkahkan kakinya perlahan. Hari ini ia akan ujian. Takut ! Ia begitu takut menghadapi soal apa yang akan menggelayuti pikirannya nanti. Ia memang tak secerdas ketiga temannya, namun ia selalu berpikir setidaknya ia adalah sekian orang terpilih yang berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri ini.
Wajah pucat, orang selalu bilang seperti itu. Namun, tak pernah ada yang bertanya kenapa wajahnya seperti itu. Ketampanan dan kharisma mengalahkan segala yang menjadi kelemahannya. Senyumnya pun demikian. Memikat ! Terlalu manis untuk diingat. Hampir setiap wanita yang mendapat senyumannya, luluh dan tak usainya menebar sejuta pesona kepadanya.
Ridho, sesuai makna namanya. Keikhlasan tak kunjung pudar dari hatinya. Ia terlalu baik, terlalu pengalah, terlalu mengikhlaskan segala yang menjadi miliknya. Karenanya pula, banyak temannya sekarang menjadi lebih merasa berbagi dengan orang lain. Merasa bahwa hidup sendiri itu lebih menyedihkan.
”Ridho, bagaimana ? Sudah siap ?” tanya Bunga, gadis yang terbilang dekat dengannya.
”Aku hanya berpikir, siap atau tidak, aku akan tetap menjalani ujian itu. So, kamu salah bertanya. Seharusnya, sampai sejauh mana persiapanmu untuk ujian kali ini?” Ridho tersenyum. Bunga semakin terpikat dengan pria di hadapannya. Enam bulan melihat senyumnya, membuat Bunga semakin jatuh hati kepada Ridho. Namun, tetap wajah pucat itu. Bunga heran.
”Iya, sampai sejauh mana persiapanmu menghadapi ujian ini ?”
”Not bad ! Gema banyak membantu semalam.”
”Oh iya, Randa bagaimana ? Sudah sembuh ?”
”Perhatian sekali. Kenapa tidak tanya langsung ?” Ridho sedikit menggoda.
”Tidak ! Aku hanya ....” Bunga segera pergi. Lagi-lagi Ridho salah mengartikan. Sejujurnya, ia tak bermaksud menanyakan kondisi Randa. Ia hanya ingin berbicara lebih lama dengan Ridho. Ia ingin menatap dalam wajah pucat itu, sambil memaknai apa yang membuat wajahnya begitu pucat. Bunga begitu penasaran. Namun, ia juga tak berani bertanya langsung. Ia takut Ridho menjauhinya.

***
”Aaaaaaaaaarrrrggggghhhhhh ....!!!” teriak Dimas sekuat tenaga.
”Dasar aneh! Selesai ujian, malah teriak-teriak. Hilang suaramu nanti !” Gema selalu heran dengan kebiasaan temannya yang satu ini. Selalu saja teriak kencang begitu selesai mengerjakan soal ujian.
”Aku baru bisa tenang kalau sudah teriak.”
”Iya, menurutku itu aneh. Sudahlah! Ayo, kita pulang! Randa dan Ridho pasti sudah di kamar.”
”Tunggu!”
”Ada apa?”
”Menurut kau, Ridho masih marah karena aku menyinggung perasaannya kemarin?”
”Kamu seperti tidak kenal Ridho. Dia itu tak pernah marah. Jadi, lupakan saja!”
”Tapi, kenapa pula wajah dia pucat ? Apa kau pikir dia sakit?”
”Sakit? Kemarin saja dia ikut berlari dengan kita.”
”Bukan itu maksudku.”
”Lantas?”
”Apa dia punya penyakit?”
”Penyakit?”
”Ya. Aku khawatir dia menyembunyikannya dari kita.”
”Aku punya ide!”
”Ide?”
”Kamu tahu kebiasaannya yang selalu menulis. Sepertinya dalam buku hitam itu.”
”Kau benar! Jawabannya pasti ada di dalam buku itu.”
”Nanti malam!”
”Ya, nanti malam.”
***

Dimas memandangi Ridho sambil sesekali memejamkan matanya. Ia berharap Ridho akan segera tertidur. Namun, sampai satu jam ia menunggu, Ridho belum juga tertidur. Ridho tetap asyik dengan buku hitamnya. Buku yang menyimpan sejuta rahasia tentang dirinya.
”Kau tidak tidur?” tanya Dimas kemudian. Ridho terusik. Ia menghentikan gerak tangannya yang fasih menulis. Entah apa yang ditulisnya, orang tak pernah tahu.
”Mataku sulit terpejam,” jawab Ridho singkat. Tangannya kembali menulis.
”Ridho ....” Dimas menghampiri teman yang begitu membuatnya penasaran. Sosok di hadapannya selalu tersenyum, namun wajah pucatnya tak pernah hilang.
Ridho tersenyum, menatap ringan teman yang duduk di sampingnya sekarang.
”Kenapa kau mudah tersenyum?”
”Menurutmu, kenapa aku mudah tersenyum?”
”Mungkin, karena dunia terlalu indah untukmu. Benarkah seperti itu?”
”Ya, dunia ini terlalu indah untukku sampai aku harus berbagi senyum kepada orang lain.”
”Ridho, kau selalu tersenyum. Kau pula selalu memberi apa yang dibutuhkan orang lain. Kau mencintai anak yatim di panti itu. Kau juga menyayangi pengamen-pengamen kecil itu dan tentunya kami semua penghuni asrama ini. Semua mahasiswa di sini tahu, siapa pemilik senyum indah itu. Namun, satu yang menjadi pertanyaanku, bahkan semua orang juga bertanya, kenapa wajahmu pucat? Boleh aku tahu, teman?”
Dimas menatap Ridho dalam. Malam benar-benar hening. Udara yang masuk melalui jendela kamar juga begitu dingin. Di saat mahasiswa lain sudah tertidur lelap di kamarnya masing-masing, mereka hanya beradu pandang, menyisakan seribu tanya dan jawab.
Hati Ridho tergetar. Wajahnya tak lagi tersenyum. Pucatnya semakin bertambah. Sementara Dimas, ia justru berharap kalau Ridho akan menceritakan apa yang menjadi bebannya selama ini. Dimas mengerti, senyum Ridho hanyalah klise sesaat yang sebenarnya adalah sebuah kerapuhan. Kerapuhan besar yang diderita karibnya.
”Dimas, bolehkah aku tidak menjawab pertanyaanmu?” ucap Ridho sambil menundukkan pandangan. Ia tak kuasa lagi menatap Dimas.
”Kenapa? Kau bilang, kau masih ingat dengan janji persahabatan kita?”
”Ya, aku masih ingat. Tapi, bolehkah kali ini kuingkari?”
”Ridho, kuberitahu, aku sempat memaknai hidupku adalah suatu bencana besar. Kau lihat ini? Jariku hanya empat. Dulu, aku selalu dihina. Bahkan sampai aku berada di sini, setiap kali aku berjabat tangan untuk berkenalan dengan teman-teman baruku, aku masih saja ragu. Aku takut mereka semua menertawakanku. Tapi, apa yang kau bilang padaku sampai akhirnya aku seperti sekarang ini? Kau bilang, aku ini hebat. Dengan empat jari di tangan kananku, aku justru meraih banyak prestasi. Hal itu tak pernah terlintas di dalam benakku sampai ada seseorang yang berucap padaku, yaitu kau. Saat itulah, aku benar-benar berubah. Karena dirimu, aku lebih bisa mengartikan bahwa hidup ini indah.”
”Sungguh tak ada yang perlu kukatakan padamu, Dimas. Aku baik-baik saja.”
”Ridho, aku benar-benar tak ingin kau seperti ini. Aku banyak belajar sesuatu darimu, karenanya aku hanya ingin membantumu jika memang ada sesuatu yang merapuhkanmu?”
”Kamu bilang aku tegar, itu semua karena aku memang tak ada masalah. Seperti inilah wajahku, wajah pucat.” Sekali lagi Ridho tersenyum, hatinya mulai tenang.
”Baiklah, maaf aku sempat memaksamu. Mungkin, memang benar kau tak apa.”
Dimas kembali tidur. Kali ini hatinya lebih tenang. Ia berharap semua yang terucap dari lidah sahabatnya adalah benar. Ya, Ridho memang baik-baik saja.
***
Malam tanpa bintang
Mataku masih sulit terpejam

Kata orang, aku si wajah pucat
Kata orang pula, aku si senyum memikat

Ya Rabb, tegarkan hatiku di saat kerapuhanku
Entah kapan waktu itu
Aku menunggu !
_Ridho_

***
Gemetar Dimas memegang buku hitam di tangannya. Subuh tadi ia berhasil mengambil buku hitam itu tanpa sepengetahuan Ridho. Entah apa yang akan Dimas katakan ketika dirinya tertangkap basah oleh Ridho. Dimas tahu, tindakannya memang lancang. Mengambil barang yang bukan miliknya tanpa izin si pemilik. Namun, hasratnya untuk mengetahui segala tentang Ridho begitu besar. Ia tak peduli lagi jika Ridho akan memarahinya nanti.
Lembar pertama ia buka. Satu per satu kata yang tertulis ia baca. Jantungnya tetap berdegup kencang. Berulang kali pula ia berucap maaf.
Ridho, maafkan aku ...

Jadi seperti itu ...
Aku memang hidup seperti tidak diharapkan oleh kedua orang tuaku. Bagaimana tidak ? Aku lahir sebagai seorang leukimia. Umurku mungkin tak akan lama. Karenanya, kedua orang tuaku mencampakkanku. Menjauhiku. Membuangku. Seolah aku ini suatu kenistaan.
Tak apa, aku masih beruntung memiliki nenek yang begitu sabar merawatku. Walau aku terlahir sebagai orang yang berpenyakit, namun nenek selalu menganggapku sehat. Nenek begitu setia mengantarku berobat. Ia begitu khawatir ketika wajah pucatku akan semakin bertambah pucat. Bahkan ia marah besar ketika teman-temanku mengejek aku dengan sebutan ”mayat hidup”. Sebutan itu karena wajahku yang selalu terlihat pucat.
Awalnya, kupikir memang dunia ini tidak menerimaku dengan baik. Aku frustasi. Tapi, aku ingat cerita nenek tentang kakek yang berjuang mati-matian melawan penyakit yang ada di dalam dirinya. Kakek juga terlahir sebagai seorang leukimia. Kepada nenek, kakek berjanji bahwa dia akan terus berjuang untuk orang yang dicintainya. Karena, orang yang kuat bukanlah orang yang terlahir sehat tanpa cacat sedikit pun. Orang yang kuat adalah orang yang berhasil membangkitkan semangat di antara kerapuhan. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa aku harus menjadi air di tengah gurun pasir. Memberikan semangat kepada orang yang hampir sekarat.

Ridho, sungguh! Kenapa kau harus merahasiakan semua ini dariku?
Setetes airmata tiba-tiba menghiasi pipi kanan Dimas. Dihapusnya airmata itu. Matanya kembali tertuju pada rangkaian kalimat selanjutnya.


Satu kenyataan lagi dari nenek yang merapuhkanku. Ternyata ...
Ayahku seorang pembunuh bayaran sementara ibuku lari dengan pria lain. Itu sebabnya aku hidup bersama nenek. Setelah hampir 17 tahun ini aku terus mencari siapa kedua orang tuaku. Bahkan aku berharap bahwa mereka adalah orang terpandang. Kenyataannya, mereka tidak lebih baik dari seorang buruh pabrik. Kupikir, mereka mencampakkanku karena diriku yang terlahir sakit. Kupikir mereka malu mempunyai anak seperti diriku. Namun, sekarang justru aku yang malu memiliki orang tua seperti mereka. Aku bersyukur bukan mereka yang merawatku. Setidaknya aku tumbuh menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari mereka.
Nenek juga bilang, sebenarnya ayah begitu menyayangiku. Namun, karena profesinya sebagai seorang pembunuh, ia terpaksa merahasiakan identitasku. Ia tak ingin aku menjadi incaran musuh-musuhnya. Aku pikir, apa benar ayah menyayangiku? Lantas, kenapa ia sama sekali tidak ingin menemuiku? Sekedar memastikan apa aku masih hidup atau tidak ?
Ayah ... aku ingin tahu bagaimana wajahmu? Apa kau juga pucat seperti diriku? Atau kau berwajah dingin karena kau seorang pembunuh?

Airmata Dimas kembali menetes. Kali ini ia biarkan mengalir.
Ridho, ternyata ini rahasia terbesarmu.
”Dimaaaaaassss!!!” teriak seseorang dari belakang. Belum sempat Dimas membuka lembar berikutnya, ia terusik dengan suara keras dari belakang.
GEMA! Dimas kaget. Sedapat mungkin ia menyembunyikan buku hitam milik Ridho. Dimas begitu takut kalau Gema akan mengadukan hal ini kepada Ridho. Semoga saja tidak terjadi!
”Dimas, kita harus ke rumah sakit sekarang! Ridho sakit!”
”Apa?!!! Ridho sakit?!” Dimas benar-benar tak bisa mempercayai berita yang baru saja ia dengar. Ya Rabb, apa yang terjadi dengan Ridho. Semoga ia baik-baik saja.
”Ayo, cepat! Tidak ada waktu lagi! Randa bilang Ridho benar-benar sekarat!
Tidak! Apa yang harus kulakukan! Ternyata waktu Ridho benar-benar sekarang! Aaarrgghh ... aku benci semua ini !
***
Menit berlalu. Ridho tak kunjung sadarkan diri. Tangan yang begitu erat digenggam Dimas pun tak juga bergerak.
Empat pemuda yang semula tertawa bersama, kini ketiga dari mereka hanya bisa beradu pandang. Berpikiran kosong. Sementara yang satunya hampir tak bernyawa. Kaku. Dingin. Tertidur nyenyak.
”Jadi, kenapa Ridho menyembunyikan semua ini dari kita?” Randa membuka mulutnya yang juga hampir kaku. Matanya terus menatap wajah pucat itu. Wajah yang menyembunyikan pesakitan tuannya.
”Karena dia tahu, hidupnya bukan untuk menyulitkan orang lain. Tapi untuk membahagiakan orang lain. Seperti itulah, senyumnya yang tak pernah pudar oleh penyakit yang sebenarnya begitu merapuhkannya.” Dimas semakin menggenggam erat tangan sahabatnya. Ia berharap tangan itu segera tergerak untuk sekedar kembali menggenggam tangannya.
”Lantas, bagaimana jika kita tak sempat lagi melihat senyumnya?”
”Aku pun tidak tahu. Aku hanya akan berterima kasih kepada Ridho yang telah mengubah hidupku menjadi lebih indah.”
Baru saja Dimas menutup mulutnya, tangan Ridho sedikit bergerak.
”Ridho!! Bangun! Kami bertiga ada di sini menemanimu!” Dimas membantu menyadarkan Ridho. Begitu pula dengan Randa dan Gema.
Sebisa mungkin Ridho membuka kedua matanya. Namun begitu sulit. Mata itu terus melekat. Tak mau sedikit pun membuka.
”Ridho, bangunlah! Kumohon ...” Dimas meneteskan air matanya.
”Dimas ...” lirih Ridho memanggil nama Dimas. Sejujurnya Ridho ingin sekali bangkit, duduk, dan memeluk ketiga temannya. Namun dirinya benar-benar tak sanggup.
”A...a...aku ingin ba...bangun.” Ridho terus berusaha mengeluarkan kata-katanya walaupun matanya masih tetap terpejam.
”Ridho, kenapa kau tidak cerita pada kami? Kau bilang, kita adalah sahabat dan tak ada rahasia di antara kita.”
”Ma...maaf teman. Aku hanya tak ... sanggup melihat ka ... kalian ikut ra ... rapuh. Cukup aku saja!”
”Kamu salah teman! Persahabatan bukanlah seperti itu. Ketika salah seorang di antara kita ada yang terluka, maka yang lainnya harus tetap kuat untuk menopang kerapuhan temannya yang terluka. Bukan ikut rapuh dan tak ada satu pun yang dapat menguatkannya.”
”Randa benar! Kita berempat memiliki karakter yang berbeda-beda. Ketika aku, Randa, ataupun Dimas yang rapuh, jatuh sakit, maka kaulah yang selama ini menguatkan kami bertiga. Lantas, kenapa kamu sendiri justru menyembunyikan kerapuhan ini? Ini tidak adil Ridho!”
”Sudahlah! Tak usah menyalahkan Ridho terus. Aku yakin ada alasan mengapa Ridho melakukan semua ini.”
”Terima kasih, teman-teman! Kalian semua hebat. Benar-benar hebat.” Ridho membuka matanya. Kali ini ia berhasil bahkan ia sanggup mengembangkan senyum untuk ketiga temannya.
”Wajahmu tetap sama. Pucat namun memikat!” desis Randa sambil tersenyum tipis. Gema dan Dimas juga ikut tersenyum.
”Ridho, apa harapanmu sekarang?” tanya Gema lembut.
”Tak ada!” jawab Ridho singkat sambil tetap tersenyum.
”Apa kau tidak ingin bertemu kedua orang tuamu?” tanya Dimas penasaran.
”Pasti kamu sudah baca buku hitam itu! Kamu ini memang berani. Nekat.”
”Maaf. Aku sungguh penasaran denganmu. Apa itu salah?” jawab Dimas gugup. Ia tahu Ridho pasti marah tapi semua itu ia lakukan justru karena ia begitu menyayangi temannya.
”Tak apa! Aku sudah melupakannya.”
Ridho berucap sambil memejamkan matanya. Ketiga temannya terdiam kaku. Tak dapat berkata apa-apa. Spontan Randa mendekatkan jari telunjuknya ke lubang hidung Ridho.
”Dia sudah pergi ...” ucap Randa sambil menghela napas panjang dan menatap surya di luar jendela kamar yang telah tenggelam.
Gema melihat langit-langit kamar. Sementara Dimas menggenggam erat tangan yang kini tak bernyawa.
(daneguka)
***
FATAMORGANA CINTA

Makna cinta menggores luka. Mencipta seribu bahasa. Terdiam kaku dalam fatamorgana. Cinta ... inikah dunia ?? Seolah sudah tak ada guna. Hanya cukup memendam rasa dan kecewa.
Berulang kali aku sadarkan diriku. Menghilangkan semua kata-kata di tabloid otakku. Aku terus berusaha, kembali ke dunia nyata. Namun, ruang dalam waktu seolah berbicara agar aku tetap di sana, menikmati setiap kata yang aku ciptakan secara tidak sengaja.
“Noe melihatmu!” bisik Wein di telinga kananku. Mendengar nama pria itu aku dengan mudah kembali ke dunia nyata. Biasanya, hal ini sulit kulakukan. Bahkan sambil berjalan ataupun melakukan aktivitas lain, aku selalu terlihat seperti orang yang tak bernyawa. Tak heran, banyak orang yang takut mendekatiku.
Noe, tentang pria itu, tak pernah ada habisnya. Entah sejak kapan aku tertarik dengan sosok itu. Bukan karena fisik atau penampilannya, tetapi lebih dari itu.
“Hei, bisakah kau membalas tatapannya? Jangan bersikap aneh seperti itu! Kau seperti mayat hidup!!” bisik Wein untuk kedua kali.
Saran Wein ada benarnya juga. Kutatap Noe dengan sepenuh hati. Namun ia malah berpaling dariku dan kembali asyik dengan novel di genggamannya. Aku benar-benar kehabisan akal. Apa yang harus kulakukan agar ia mau memperhatikanku seperti layaknya orang normal. Kalau selama ini ia terus menatapku, bukan karena aku cantik ataupun mempunyai segudang prestasi. Ia melihatku tidak lain karena aku ini aneh. Aku sering terlihat melamun. Menikmati segala khayalan-khayalanku. Aku seperti memiliki dunia yang berbeda. Dunia lain yang lebih asyik dari dunia nyata.
Sejujurnya, itu semua adalah benar. Ya, aku memang mempunyai dunia lain yang bisa membuatku lebih hidup, bahkan enggan untuk kembali pulang ke dunia nyata ini.
“Noe pergi, apa kau tidak ingin me ...” Wein kutinggalkan begitu saja. Padahal ia belum selesai bicara. Tapi aku tahu maksud Wein. Ia menyarankan agar aku mengejar Noe dan berbicara sesuatu dengan pria itu. Setidaknya aku bisa menepis pikiran Noe yang salah tentang diriku selama ini.
“Hei ...” ujarku pelan. Entah mengapa mulutku begitu sulit mengeluarkan kata-kata. Terlalu canggung ketika mendengar suaraku. Sampai-sampai bulu di kedua tanganku merinding layaknya seseorang yang baru saja melihat hantu.
Kulihat Noe tak menghiraukan suaraku. Dia tetap berjalan, melangkahkan kakinya dengan ringan. Jujur, aku kecewa. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat banyak. Mungkin saja dia tak dengar. Lagipula aku memang tidak jelas memanggil siapa.
Sekarang, aku hanya akan mengunjungi sebuah dunia. Dunia yang selalu membuatku seolah-olah aku ini adalah penguasanya. Ya ... dunia khayalanku. Dunia yang membuatku nyaman bila berada di sana. Dunia indah di mataku, dan hanya aku yang bisa berada di sana. Tanpa seorang pun di sisiku.
Cinta ... dalam pandangan fatamorgana, hanya lara.
Cinta ... ketika tiba waktunya, tinggalah luka.
Cinta ... ketika harus tak ada, inikah sisa nyata ? Atau hanya asa ?
Namun, aku di sini. Tanpa cinta dalam pandangan fatamorgana.
Hanya dunia hampa serta angan yang tercipta.
Hanya kata dengan seribu makna yang terpendam dalam jiwa.
Hanya airmata yang mengalir bersama luka yang menganga.
Indahnya ... fatamorgana. Bersama cinta tanpa makna.
Dan kehadiran yang tak kunjung ada.
Cinta membekas tanpa arti.
Tak hilang ataupun menari.
Hanya di sini sampai kapan pun nanti.
Tetap menjadi pautan sebuah hati.

“Duniamu indah, itu menurutmu kan?” ujar seseorang ketika aku sedang asyik dengan dunia khayalanku. Lagi-lagi aku terpaksa harus kembali ke dunia nyata ini. Ketika aku menyadarkan diriku, memastikan siapa pemilik suara itu, aku hanya bisa terdiam dengan sejuta perasaan bahagia. NOE! Dia menyapaku ?? Hal ini sulit kupercaya. Apakah aku sudah kembali ke dunia nyata? Atau aku masih tetap dalam fatamorgana?
“Bagaimana ? Sudah kembali ?” ucap Noe dengan suara lembut. Aku hanya mengangguk. Sekarang aku percaya, kalau ini benar-benar dunia nyata. Aku bisa merasakan tangan dingin pria itu menyentuh tanganku. Benar-benar tangan yang sangat dingin. Aku seperti memegang sebuah es batu. Oh bukan ! Tepatnya air es. Karena tangan Noe tak sedingin ataupun sebeku bongkahan es batu.
“Aku ingin tahu kenapa kau melakukan semua ini? Sampai-sampai kau rela semua temanmu menjauhimu? Apa yang menarik dari duniamu?” Noe melemparku banyak pertanyaan. Aku bingung harus menjawabnya darimana.
“Indah ...” jawabku datar.
“Indah? Bagaimana bisa? Apa kau benar-benar menemukan sebuah taman surga dengan ribuan bunga di dalamnya?” Noe benar-benar tertawa.
“Bukan ... aku hanya melihat sebuah ruang hampa namun ketika aku berada dalam ruang itu, aku bisa merasakan kedamaian. Dan seketika itu juga banyak kata-kata indah yang mengalir dari hatiku. Mungkin karena itulah aku merasakan kenyamanan.”
“Kata-kata? Bisa kau ucapkan?”
“Tidak! Karena kata-kata itu hanya bisa kuciptakan ketika aku berada dalam duniaku. Bukan di sini.”
“Ahahahaha .... Kau tahu, perbuatanmu ini sangat aneh!!”
“Aku tidak peduli! Selama aku merasa nyaman, kenapa aku harus menghentikannya? Lagipula aku tidak mengusik kepentingan orang lain?”
“Siapa bilang kau tidak mengusik kepentingan orang lain? Semua orang di sini jelas-jelas membicarakanmu? Apa itu bukan mengganggu?”
“Aku rasa, mereka yang ingin menggangguku! Bukan aku!”
“Tinggalkan duniamu, aku takut kau punya kelainan dalam jiwamu.”
“Maksudmu gila! Kau pikir aku gila?!”
“Bukan ... tapi hatimu!”
“Tahu apa kau tentang hatiku?”
“Hatimu akan sulit berinteraksi dengan orang lain. Dan emosimu, jika memang benar, kau tidak akan lagi mengenal manusia selain dirimu.”
“Omong kosong!”
“Itu kenyataan! Sekarang ... aku bisa lihat kalau hatimu tidak bisa lagi mendengar kata-kataku. Percayalah! Aku bisa membaca semua itu!”
“Percaya? Memangnya kau siapa?”
“Teman!”
“Hanya teman, kan? Jadi, aku sarankan kau tidak usah sok tahu!”
“Apa kata teman tak ada artinya di matamu?”
“Tidak sama sekali!!”
“Kalau begitu, selamat menikmati duniamu!” Noe tersenyum sinis dan segera pergi meninggalkanku. Dia kecewa dengan sikapku. Tapi aku juga tidak bisa menerima sikapnya yang terlalu kasar padaku. Aku juga heran kenapa dia begitu penasaran dengan duniaku? Sampai-sampai dia terus menanyakan hal itu.
Kupikir Noe ingin mengenalku lebih dekat. Setidaknya menjadi teman untukku. Teman?? Soal itu, aku memang salah. Tak seharusnya aku berbicara ketus kepadanya. Apalagi maksud Noe juga baik. Noe ingin aku lebih mengenal teman-teman di sekelilingku. Ya ... selama ini Noe menganggap, aku tidak punya teman bukan karena aku ini aneh. Tapi karena aku tidak ingin memperlihatkan kepada semua temanku bahwa aku ini ada. Ya ... ada dalam dunia nyata. Bersama mereka.
***
Hari ini sekolah mengadakan kompetisi musik. Seperti biasa, semua murid menyambutnya gembira. Musik ... itulah salah satu ekskul yang paling digemari di sekolah. Mereka menyukai musik karena musik dapat menenangkan hati mereka yang sedang kacau. Tapi, bagiku, satu-satunya jalan untuk menenangkan diriku hanyalah duniaku. Dunia yang kuciptakan sendiri. Dan hanya aku yang bisa mengunjunginya.
Ribuan cinta dalam suatu pusara. Mengelilingi satu jiwa. Karena hilang entah dimana. Maka, hanya tinggal fana. Indahnya bunga. Tak seindah cinta. Namun, ketika cinta dihadapkan pada satu peristiwa. Apakah indahnya akan tetap ada? Atau lekas sirna dan pergi entah kemana? Tentang makna cinta. Siapa peduli dengan semuanya?! Hanya saja ... ketika telah membekas karenanya. Makna cinta pun mencipta luka yang menganga.
“Hei, datang juga ? Kupikir kau tak jadi datang ?” Wein meledekku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Oh iya, kau bertengkar dengan Noe, ya ? Kenapa ?” tanya Wein padaku. Aku berpikir darimana Wein tahu semua ini.
“Kau tahu darimana ?”
“Rahasia !”
“Kalau begitu, aku tidak mau memberitahu. Dan urusan selesai ...”
“Kau ini ! Menyebalkan !” Wein menggerutu dengan sikapku yang tak pernah berubah. Keras kepala !!
“Kau lebih menyebalkan,” balasku sambil tersenyum kecil melihat raut wajahnya yang begitu kesal.
“Oke, aku akan bilang. Kemarin aku melihatmu ...”
“Memataiku ?”
“Tidak ! Sudahlah, kau janji ingin cerita kan ?”
“Dia yang memulainya.”
“Memulai apa ?”
“Dia bilang aku ini ... aku ...”
“Kenapa ?”
“Tidak kok ! Kupikir dia hanya salah paham ...”
“Kau seperti menyembunyikan sesuatu ?”
“Tidak !”
“Ya !”
“Tidak !”
“Ya !”
“Sudah, aku tidak mau membahasnya ! Lagipula tujuanku ke sini hanya ingin menikmati kontes musik ini. Bukan berdebat denganmu !”
“Siapa bilang aku mengajakmu berdebat ? Aku hanya ingin ... Nuan ! Nuan !” Lagi-lagi kutinggalkan Wein sendiri. Aku tak peduli lagi dengan ucapannya. Dia terlalu keras kepala untuk mendengarkan semua ceritaku. Lagipula aku juga tidak mau ambil pusing dengan permasalahan ini. Hanya masalah biasa ! Aku dan Noe hanya salah paham. Tak lebih dari itu.
Tak lama, acara pun dimulai. Aku mendengar alunan musik pembuka menggelora di sekolah ini. Semua anak, kulihat, ikut menyanyikan lagu sambil menikmati iringan musik dengan gembira. Sebenarnya, aku juga ingin bergabung dengan mereka. Namun, lagi-lagi hatiku lebih memilih untuk pergi ke dunia itu. Duniaku ... dunia fatamorgana
Saat dan ketika ruang dalam waktu tak henti memanggil satu jiwa. Yang terjadi hanya bayang semata. Saat dan ketika lorong kesunyian bertemu dengan satu cita. Yang terjadi hanya angan dalam raga. Cinta ... telah menjadi dahaga. Cinta ... terlanjur termakna. Maka, biarlah ! Keberadaannya termanja oleh rasa. Fatamorgana ... tak hilang. Sang pemakna telah datang. Jadikannya rasa sayang. Dan senja pun memerah saat petang
“Kebakaran ! Kebakaran ! Tolooong !!” sebuah teriakan membawa nyawaku kembali pulang. Hah, kali ini nyawaku dengan mudah tertarik ke dunia nyata. Bahkan aku tidak merasakan adanya getaran jiwa ketika nyawaku kembali ke dunia nyata ini. Tidak seperti biasa !
“Cepat, cari bantuan ! Ada beberapa orang yang terperangkap di dalam sana !” ucap seorang anak dengan suara yang gemetar. Mendengar nada bicaranya yang seperti itu, aku pun ikut gemetar. Dan tiba-tiba saja, aku merasa terlempar lagi ke duniaku. Fatamorgana ... Fatamorgana ! Cinta ketika satu, adakah rasa haru ? Atau hanya bayang semu ?
“Hei, cepat ! Selamatkan mereka ! Ayo, semuanya cari air ! Kau ... jangan melamun saja !!” Cubitan seseorang menyadarkanku kembali. Namun ... Tidak !!
Cinta tak hadirkan tanya. Bias makna kembali terjaga. Lantas, sedang apa kau di sana ? Mencari cinta ... atau hanya sanggup pejamkan mata ?
“Wein, ada di sana ! Ayo, lekas selamatkan dia !”
Wein ... ?? Wein ada di sana ? Mendengar nama pria itu, aku segera berlari. Berlari sekuat tenagaku. Aku tidak ingin Wein terluka ! Hanya itu yang terlintas dalam benakku.
Cinta sedang lara. Seseorang berkelana. Mencari sosoknya. Namun, ketika sampai ia di sana. Puing bertebaran, merefleksikan cermin prasangka.
Tidak !! Kumohon, aku sedang tidak ingin ke duniaku. Aku ingin ... Aku ingin ...
Harga diri menepiskan cinta. Maka, jadikanlah bahagia ...
Wein, aku akan menyelamatkanmu ! Tunggu, aku !
“Masih punya naluri untuk menyelamatkan teman sebangkumu ?” ucap seseorang ketika aku sampai di gedung yang penuh dengan kobaran api itu. NOE !!
“Bukankah kau lebih senang dengan duniamu ? Untuk apa masih di sini ? Pergilah ! Wein tidak butuh pertolongan yang semu !!” ucapnya lagi. Sejujurnya, mendengar semua ucapan Noe, aku merasa terlempar kembali ke duniaku. Namun, jiwa dan ragaku, kupertahankan hingga aku sanggup menahan tarikan ruang dan waktu itu.
“Kau tahu, walau aku mencintai duniaku, itu semua tidak menjadikanku sebagai manusia yang tidak berperasaan ! Justru sebaliknya, aku belajar banyak dari imajinasiku. Imajinasiku adalah guru pribadiku !”
“Guru ?! Heh ... aku baru dengar ! Kau tidak sedang bergumam kan ? Atau jangan-jangan kau tidak sadar dengan apa yang kau bicarakan barusan. Maksudku, yang berbicara bukan kau, tapi jiwa lain yang memasuki tubuhmu.”
“Tahu apa kau tentang semua itu ?!”
Kulihat api semakin membesar dan Wein belum juga ditemukan. Aku semakin gelisah. Jantungku berdebar kencang. Tubuhku juga gemetar.
“Maaf ! Apa Wein sudah ditemukan ??” tanyaku pada salah satu murid di sekolah ini juga.
“Sepertinya belum. Api semakin membesar, mana ada yang berani mengambil resiko ? Kita tunggu saja, siapa tahu Wein bisa menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab anak itu.
“Tunggu ?!! Bagaimana mungkin kita bisa menunggu sementara api semakin membesar. Memangnya kau pikir dia itu apa ? Dia manusia yang sama seperti kita. Dalam keadaan seperti ini, dia .... Hah ! Percuma ! Kalian semua pengecut !! Percuma hidup dalam dunia nyata, lebih baik kalian semua pergi ke fatamorgana !”
“Hei, jangan ! Dasar orang nekat !!”
Aku kecewa ! Aku benar-benar kecewa, Wein ! Kau bilang dunia nyata lebih indah dari dunia fatamorgana yang selama ini kukunjungi. Kalau memang indah yang kau maksud adalah seperti ini, aku memilih untuk tetap berada di duniaku. Kau tahu, mungkin lebih baik aku tak lagi ada di dunia ini. Aku benci dengan kehidupan yang hanya ada jika kita merasa bahagia. Lantas, kemana kita harus pergi saat satu titik kesedihan menjumpai kita ?
“Wein !! Uhuk ... uhuk !! Wein, dimana kau ?” teriakku sekuat tenaga.
Cintaku terbelenggu. Aku pun mulai rapuh. Kemana dirimu ?? Hanya kelabu.
“Wein !! Bicaralah ! Aku tidak bisa menemukanmu !”
“Nuan .. Nuan ...” Samar-samar aku mendengar suara Wein.
“Wein ? Ternyata kau di sini ...”
“Nuan ? Kau ?”
“Ayo, kita pergi ! Wajahmu sudah menghitam. Uhuk ... uhuk !!”
Cinta menghampiri. Hati kembali menari. Bersama bahagia yang ikut menyertai.
“Apa kau ingin membawaku ke fatamorgana itu ?” Tiba-tiba Wein bertanya padaku.
“Tidak ! Kau tidak boleh ke sana, hanya aku yang boleh ke sana.”
“Kau curang ! Pokoknya aku ingin ke sana. Giliranku melihat keindahan itu.”
“Wein, jangan ! Kau tidak akan bisa kembali ke dunia ini. Kau akan terjebak dalam ruang waktu itu. Rasanya akan sesak. Dan kau ...”
Tiba-tiba jiwaku tak bisa kukendalikan. Jiwaku seperti bermain-main di atas sana. Aku melihat Wein. Ya, dia tersenyum bahagia bersama diriku. Dia memegang erat tanganku. Kulihat dia benar-benar bahagia.
Semua putih. Dingin juga menyertaiku. Tapi, kemana Wein ? Dia menghilang !! Tak lama, pandanganku pun kabur. Aku mendengar suara-suara yang begitu memekakkan telinga.
“Nuan ...”
Aku mendengar suara itu. Tidak salah lagi, itu adalah suara Wein !
Aku tersadar. Kubuka mataku pelan. Tak kusangka, tanganku begitu erat memeluknya. Seolah aku tidak ingin kehilangan dirinya.
Cinta menemui akhir. Akhir tak terkira ... karena fatamorgana.
Itukah cinta ? “Ya !” Cinta dalam hatiku.
Wein tersenyum padaku. Kulihat dia begitu bahagia. Ya ... hal itu tergambar jelas dari sinar matanya yang indah. Tak lama, mata kami pun terpejam. Gelap. Hampa. Dalam kobaran api yang panas, kami menuju fatamorgana. Bersama cinta yang telah termakna.(daneguka)