Kamis, 24 Maret 2011

Cerita sederhana 02

Malam. Hening. Sayup-sayup hanya suara jangkrik yang mampu berirama. Menemani aku dalam keasyikan bercengkrama dengan kata-kata. 
Entah mengapa mata ini sulit terpejam. Pikiranku masih jauh membayangkan betapa aku bukanlah apa-apa tanpa rezeki dan anugerah dari-Nya. Betapa aku hanya makhluk yang bernyawa jika saja tanpa cinta dari-Nya. Betapa aku hanya penikmat dunia jika saja aku tak mengenal-Nya. Oh, sungguh itu tidak benar-benar kuinginkan.

Sedikit cerita tentang sore hari ini. Masih terbayang cakrawala luar biasa pada langit menjelang sore di Kota Buitenzorg. Pagi yang nampak abu-abu dan ketika sore sangat mendecak kagum sang pemilik jiwa di dalam tubuhku. Betapa fatamorgana yang begitu indah. Membentang luas diselimuti kabut kelabu. Dan tentu saja, hiasan burung-burung yang asyik terbang kesana kemari semakin menyempurnakan angkasa sore hari ini. 

Belum lagi, ketika aku jalan menyusuri jalan lurus hingga ke ujung depan, nampak sebuah gunung menjulang berwarna kelabu. Sedikit dihiasi siluet putih yang mempercantik bentangan alam Kota Buitenzorg.

Sungguh, seandainya ada warna-warni pelangi yang juga ikut menghiasinya, maka fatamorgana itu akan semakin sempurna. Mungkin lain kali. Karena sang pelangi sedang menunggu hujan di tengah terik mentari. :)

TIGA JIWA "Save My Soul" (session 1)

Banyu :
Ini mungkin sebuah takdir, dan mungkin saja aku memang diharuskan menerima takdir ini tanpa perlu melawannya. Begitulah, aku tak habis pikir tentang apa saja yang bisa aku perbuat untuk orang lain. Bukan! Ternyata bukan itu yang seharusnya aku pikirkan. Tapi mengapa aku justru melakukan ini?
Hatiku begitu dingin, mengeras, bahkan sudah menjadi karang yang sulit dihancurkan. Walaupun bisa dihancurkan dengan tetesan air, namun tetap saja tidak cukup hanya sebentar. Butuh waktu yang lama. Begitulah kira-kira penggambaran isi hatiku. Terlalu gelap! Terlalu tak peduli! Dan terlanjur sadis!
Omong kosong dengan kasih sayang. Omong kosong pula tentang cinta. Semua itu akan lenyap jika setitik saja kebencian menyelimuti. Sebenarnya aku tidak benci. Hanya saja aku terlanjur memperoleh kehidupan yang penuh dengan kebencian. Sekali lagi bukan aku yang benci. Tetapi orang-orang yang bersama akulah yang diliputi banyak kebencian.
Dan aku?
Hanya sekedar menerima apa yang mereka benci. Menjadikannya lenyap hingga kebencian itu pun hilang dengan sendiri. Namun, ternyata kebencian itu tidak hanya satu.
Maka ... aku pun melenyapkan ribuan kebencian. Hingga aku pun lelah. Hingga penyesalan di dalam diriku pun tak lagi ada.

Maessa:
Entah apa yang dapat kuperbuat untuk tidak memenjarakan dendam ini. Jiwaku seharusnya bukan seperti ini. Ya, aku merasa memang kehilangan seluruh jiwaku yang sebenarnya. Dan itulah ... karena dendam ini terlalu sulit aku lenyapkan.
Betapa aku telah banyak mengalami perubahan jiwa. Aku seperti orang pesakitan. Setiap detik yang kulalui, hanya sebuah amarah dan dendam yang mampu menghidupkan kembali jiwaku. Aku hampir tak mengenal sosokku. Bahkan aku merasa bahwa jiwaku bukan lagi milikku. Ia hilang begitu saja. Ia lenyap entah kemana. Hingga jiwa lain pun mengisi relung-relung di tubuhku yang kosong.
Aku selayaknya mayat hidup tanpa cinta dan kasih sayang. Hidup hanya untuk menumbuhkan dendam dan amarah. Ya ... kenyataannya, setiap detik yang kulalui hanya untuk memendam amarah dan dendam hingga suatu saat akan berhasil aku luapkan. Tentu saja, entah pada siapa akan aku luapkan dendam dan amarah ini. Yang jelas, aku tidak main-main.
Aku hanya mampu hidup dengan satu alasan, yaitu dendam! Ya, itu saja! Tak ada yang lain.
Bahkan aku rela menghabiskan darah di sekujur tubuhku hanya untuk membalas dendam.

Kirana :
Tak habis pikir dengan kelelahanku selama ini. Aku tumbuh menjadi seorang gadis berhati kelabu. Kelabu bukanlah putih bersih. Kelabu juga bukanlah hitam pekat. Namun, kelabu ialah perpaduan antara keduanya. Bisa terbayangkan, hatiku pun penuh kekalutan. Namun, tetap saja aku memang setegar karang di lautan.
Belum ada gemuruh air yang mampu meluluhlantahkan ketegaran hatiku. Walau kalut, aku selalu yakin bahwa aku kuat. Inilah yang menjadi alasan mengapa aku hampir tak pernah menitikkan airmata sekalipun. Bisa kuingat, titik airmata terakhir yang mengalir di kedua pipiku saat ibuku meninggal 10 tahun silam. Setelahnya, aku sama sekali tidak pernah menitikkan airmata.
Itulah mengapa kubilang bahwa aku begitu tegar.
Sayangnya, ketegaran hatiku tidak akan selamanya menjadi tidak putus asa. Begitulah, karena semakin aku memaknai hariku selanjutnya, aku semakin kacau. Bukan karena aku mulai lemah, tetapi karena kekalutan yang aku alami berusaha menggoyahkan karang yang tegar di hatiku.
Sudahlah, aku masih belum mau menyerah.
Ini tentang hidup. Ini tentang menjadi bijaksana.
Maka, aku hanya sanggup menegakkan karang itu dan berharap akan tetap kokoh walaupun besarnya air mulai membasahi sekujur tubuhku.

Rabu, 23 Maret 2011

Cerita sederhana 01

Pagi buta. Baru saja aku melewati suatu malam yg hampa.
Ya, tentu saja hampa karena tanpa siapa pun. Bahkan suara binatang2 kecil pun tak mampu aku dengar.
Kali ini, ketika hari sudah berganti, aku masih saja menemui pagi tanpa siapa-siapa.
Apa sesungguhnya ini? Aku tak betah. Aku seperti hilang arah.

Sejenak kupandangi sebuah buku harian. Lapuk, usang, dan pudar. Hanya itu yg nampak jelas di kedua mataku.
Belum satu menit berlalu dengan sempurna, aku sudah terhanyut dengan syair-syair di dalam buku harian itu.
Lembar demi lembar kulalui masih dengan perasaan hampa. Belum menemukan sesuatu yang nampaknya dpt membuat hatiku sedikit merona.

Akhhh ... baru saja aku berhasil mengatupkan bibirku, hati ini tiba2 merona. Sangat merona. Hingga aku pun malu.

"Buitennzorg, 5 Desember 2010 ...
Selamat bertemu hari lahirmu kembali di tahun ini. Kehampaan yg kau rasakan sebenarnya hanyalah asa yg selalu menggelayuti pikiranmu. Maka, biarkan ia mengalir. Mengikuti arus harimu yg seharusnya kau lalui dengan sederhana. Pikirkanlah, betapa kau merugi membiarkan kehampaan itu terus terpelihara bahkan kau bukan melepaskannya, tapi justru memenjarakannya. Sekali lagi, lalui harimu dengan sederhana. Karena kau memang tak sendiri."


Sebuah senyum melengkung sempurna tepat di bibirku. Dan mentari pagi mulai mencerahkan dunia yang selama ini kuanggap hampa. :)
Betapa hari itu akan dapat kulalui dengan indah ketika aku merasa telah sederhana melewatinya.